Awan Kelabu di Pantai Selatan Bantul
2014
Matahari sudah tenggelam di ufuk barat laut selatan Pantai Parangtritis tetapi suasana masih cukup ramai.
Temaram senja yang membuat suasana semakin syahdu membuat pengunjung tampak enggan meninggalkan pantai.
Kedai-kedai makan yang berjejer juga masih buka dengan satu dua pembeli yang duduk menikmati sajian pesanan mereka.
"Sebentar lagi tambah ramai," kata Pak Sumantri yang kuajak menemani melihat suasana Parangtritis di malam Jum'at Kliwon.
Tak kurang dari setengah jam apa yang dikatakan Pak Sumantri menjadi nyata. Pengunjung semakin banyak tapi bukan untuk menikmati suasana pantai yang makin gelap. Mereka hanya ngobrol sambil makan dan minum ditemani perempuan-perempuan berdandan sedikit menor.
Jam 7 malam ketika suasana semakin ramai kami meninggalkan Parangtritis menuju Parangkusumo yang jaraknya hanya sepelemparan batu.
Suasana yang temaram dan cenderung gelap tak beda jauh dengan Parangtritis. Tampak beberapa perempuan duduk-duduk di bawah cemara sekitar pantai.
Di sekitarnya ada kaum pria yang duduk-duduk sambil membawa alat pancing. Ada juga yang membawa semacam sesajen.
Ada perempuan yang menyapa dengan senyuman nakal dan menawarkan diri agar para pengunjung duduk di sampingnya.
"Di sini lebih ramai saat Selasa Kliwon," kata Pak Sumantri.
Selasa Kliwon atau Anggara Kasih bagi masyarakat Jawa dianggap hari yang penuh makna membawa kegembiraan dan memberi kebahagiaan.
Setelah lima belas menit keliling melihat suasana, jam 8 malam kami meninggalkan Parangkusumo yang semakin gelap dengan pemandangan siluet kerumunan orang yang menyebar. Suasana seperti ini akan berakhir sekitar jam sebelas malam.
2023
Setelah beberapa kali antara tahun 2008-2019 menyusuri Pantai Pandansari hingga Pantai Baru dengan ditemani beberapa orang yang saya anggap mengenal budaya Jawa khususnya Yogyakarta, pertengahan 2022 beberapa kali penulis menyusuri sendiri dengan gowes.
Seperti halnya bersama Pak Sumantri, saat masuk ke komplek pemukiman penduduk sekitar pantai selalu disapa ramah oleh kaum perempuan yang menawarkan minuman. Sekalipun warungnya hanya tersedia beberapa botol air mineral. Dan pada akhirnya menawarkan diri.
Dua tiga kali penulis mampir di warung berbeda sekedar membeli sebotol minuman sambil menggali kehidupan mereka yang temaram tapi tak seindah pantai di kala senja.
"Mari masuk saja Mas...," ajak mereka dengan suara yang hambar seakan sudah tahu tawarannya ditolak.
Ketika penulis meninggalkan warungnya dan membayar sebotol minuman tampak wajahnya begitu datar dan menjawab, "Kok tidak istirahat dulu di sini?"
Pertengahan Februari 2024
Untuk kesekian kalinya penulis menyusuri Pantai Pandansari hingga Pantai Pandansimo.
Pemandangan pintu masuk Pantai Pandansimo sedikit berbeda karena ada pembangunan tiang pancang Jalan Lintas Selatan menuju Purworejo, Jawa Tengah. Kesan kumuh sedikit hilang.
Namun wajah perkampungan tetaplah kumuh yang menggambarkan kehidupan yang kurang layak.
Sepanjang jalan kampung berderet rumah-rumah berdinding batako tanpa jendela yang memadai. Bahkan banyak yang tidak berjendela samping kecuali jendela kecil bagian depan.
Dari pintu yang terbuka lebar tampak jelas betapa pengap dan tidak sehatnya rumah-rumah tersebut.
Sulit membedakan antara rumah nelayan atau rumah penduduk dan warung yang menyediakan wanita penghibur pria hidung belang. Ataukah keduanya menyatu.