Pada akhir 70an di Desa Karang Jepun ada keluarga baru pindahan dari desa tetangga.
Seluruh anggota keluarganya sangat pendiam dan jarang bergaul termasuk kepala keluarganya. Pun demikian bila ada kegiatan sosial seperti gotongroyong membersihkan jalan desa dan melayat keluarga berdukacita tidak pernah nongol.
Anehnya jika diundang kenduri selalu hadir dan langsung pulang setelah menerima nasi berkat. Tanpa pamit atau mengucap terimakasih pada tuan rumah yang mengundang.
Karena sikap seperti ini, banyak warga desa yang beranggapan keluarga ini sombong.
Tampaknya masyarakat Karang Jepun belum paham bahwa keluarga baru termasuk introfert.
Sekitar setahun menetap di desa tersebut, salah satu keluarganya meninggal diiringi hujan tangis anggota keluarga yang lain.
Seperti keguyuban masyarakat desa, para tetangga langsung membantu segala persiapan untuk pemakaman. Kaum wanita ada yang menyiapkan minuman untuk para pelayat.
Anehnya, keluarga yang berduka hanya menjadi penonton selain saat memandikan jenazah.
Di sinilah para tetangga dan warga desa yang melayat menjadi jengkel. Kasak-kusuk pun terjadi.
Kala jenazah akan dibawa menuju pemakaman, salah satu pengurus dukuh meminta empat anggota keluarga untuk menggotong keranda.