Sebuah penghargaan yang patut dibanggakan bangsa Indonesia, pada hari ini, tepat delapan belas tahun atau 25 November 2005, UNESCO mengakui keris sebagai warisan dunia non bendawi dari Indonesia.
Keris merupakan senjata tajam warisan budaya Nusantara yang banyak digunakan masyarakat Indonesia seperti Jawa, Sunda, Madura, Osing, Bali, Aceh, Banjar, Makasar, dan Minangkabau dengan wujud dan sebutan yang berbeda.
Pada masa lalu terutama pada masa kerajaan dan perlawanan terhadap kolonialisme, masyarakat Jawa berkeyakinan keris bukan hanya sekedar senjata tetapi juga simbol kehormatan, kedudukan sosial, dan kekuasaan sehingga keris juga berarti pusaka yang harus dihormati.
Perkembangan selanjutnya, keris yang pada masa lalu hanya dimiliki oleh para ksatria, bisa juga dimiliki semua orang namun lebih berfungsi sebagai ageman atau sekedar hiasan dalam berbusana tradisional.
Keris sebagai benda atau senjata pusaka dengan sejarah panjang serta mempunyai nilai seni tinggi kini semakin banyak diminati oleh pecinta seni dan budaya dari mancanegara.
Besarnya permintaan mancanegara akan keris menjadi perhatian khusus pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dengan memberi pelatihan pada para pande untuk menjadi mpu lewat Dinas Kebudayaan.
Pande merupakan sebutan dalam budaya Jawa bagi mereka yang berkarya membuat perlengkapan dari besi.
Mpu merupakan sebutan bagi mereka yang berkarya untuk membuat senjata terutama keris.
Pelatihan dengan menggunakan Dana Istimewa lewat Dinas Kebudayaan diberikan pada para kelompok pande dan mpu di Desa Ngento, Sleman dan Desa Kajar, Wonosari, serta Gilangharjo, Bantul.
Di Gilangharjo, Bantul ada tujuh pande tetapi yang berkecimpung membuat keris hanya ada tiga kelompok. Salah satunya di bawah bimbingan Mpu Sarjono, Mpu Muhadi, dan Mpu Susanto.
Dalam berkarya para Mpu bergantian tugasnya seperti membakar baja, menempa dan membentuk bilah atau tosan sesuai bentuk pemesan, mengasah dan meruncingkan.
Demikian juga saat mengukir bilah dan membuat warangka atau wadahnya