Lihat ke Halaman Asli

Mbah Ukik

TERVERIFIKASI

Jajah desa milang kori.

Rumah Tanpa Pagar

Diperbarui: 26 Agustus 2023   17:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi 

Aku menempati rumah itu sejak lahir hingga bangku SMP. Menginjak bangku SLTA aku meninggalkan kampung halaman untuk sekolah di SPMA. Sekolah Pertanian Menengah Atas di Malang.
Sebenarnya itu bukan pilihanku. Selain memenuhi keinginan kakekku yang ingin aku menjadi petani untuk menggarap sawah kakek yang luas.
Begitu lulus SPMA atas desakan bapak aku mendaftar sebagai PNS menjadi penyuluh pertanian.


"Biarlah Bapak saja yang mengolah sawah. Lanjutkan hidupmu di rantau." kata bapak saat itu.
Aku pun tak bisa menolak. Toh sawah yang digarap bapak tak lagi seluas dulu karena dibagi menjadi delapan bagian. Sesuai jumlah saudara kandung bapak.

Lulus tes PNS aku ditempatkan di sebuah desa di kaki Gunung Arjuno. Sebuah desa yang subur.
Kakek hanya memandangku dengan tatapan agak kecewa ketika aku akan kembali ke Malang.


Sepuluh tahun mengabdi di sana aku menikah dengan gadis desa. Putri seorang petani sayur.


"Bisakah kamu minta pindah tugas sekitar Jogja sini?" tanya ibu setengah meminta.
Aku hanya diam saja. Rasa rindu kampung halaman sudah tidak ada. Banyak kerabat dan teman sedusun juga telah hidup di rantau.


Bapak ibu pun kini tinggal berdua saja di rumah.  Sebuah rumah lawas di pinggir hutan jati.
Delapan anaknya telah hidup di luar Jogja.
Sebulan sekali kami bergantian mengunjungi mereka.
Saat senggang sebenarnya aku ingin berbincang dengan bapak. Namun bapak selalu menghindar dengan menyibukkan diri dengan mencari rumput untuk pakan kambing.
"Bapak ingin kau kembali. Bapak menyesal kau bekerja di Malang." Kata bapak pada suatu siang selesai menebang rumpun bambu.
"Tak mungkin Bu karena aku juga harus menggarap sawah di sana," jawabku pada ibu.


Ya, aku harus menggarap sawah warisan Harti istriku putri satu-satunya mertuaku yang kini sudah tidak mungkin bekerja di sawah karena usia.
"Ibu sih berharap Parto yang menggarap. Tapi adikmu angin-anginan dan rok-rok asem kalau bekerja." lanjut ibu.
Aku kembali diam saja.
"Lama-lama kan bisa berubah."
"Ayahmu hanya berharap padamu. Seperti harapan Simbahmu."

Di musim kemarau panjang ini aku kembali pulang. Rumah kuno dengan halaman yang luas tanpa pagar masih terlihat kokoh namun wajahnya tampak muram.
Sedih menunggu kedatangan seseorang yang tak akan kembali lagi.

0 0 0

Keterangan:
Rok-rok asem artinya bekerja kurang semangat dan hanya jika diperintah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline