Koran atau surat kabar mencapai puncak kejayaannya antara tahun 1980an hingga akhir 2000an.
Sebelum tahun 80, koran masih menjadi bacaan orang berduit. Selain harganya mahal dan daya beli masyarakat masih rendah juga karena minat baca masyarakat juga rendah.
Munculnya tabloid dan koran kuning dengan berita-berita sensasional pada awal 80an memukul telak majalah mingguan seperti STOP, Selecta, Vista, D&R, dan Aktuil.
Runtuhnya orde baru menjelang abad 21 di mana kebebasan pers dan bersuara terbuka lebar semakin menambah lahirnya surat kabar dan tabloid. Ditambah lagi banyaknya peristiwa-peristiwa luar biasa mengiringi kebebasan berpendapat di negeri kita.
Peristiwa Sampit, GAM di Aceh, Maluku, Poso, pembunuhan dukun santet, dan banyak lagi menjadi santapan insan pers. Surat kabar dan tabloid pun menjadi menu tambahan bahkan sebelum sarapan. Mulai dari ekskutif di ruangan ber-AC hingga warung makan di kaki lima.
Perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat dengan lahirnya media online dengan cepat menenggelamkan media cetak.
Kampanye paperless demi bumi hijau juga semakin media cetak terbawa arus ke samudra dengan megap-megap agar tidak tenggelam.
Masihkah koran atau surat kabar diminati oleh mereka yang haus akan informasi?
Bagi kaum muda tentu saja sudah dianggap tidak praktis.
Pun demikian bagi lansia yang secara ekonomi bisa membeli smartphone dan pulsa data.