Bisnis adalah bisnis. Semua orang tentu paham. Tak ada harga teman. Tak ada harga kerabat.
Sepakbola sebagai olahraga yang paling digemari juga sebuah bisnis raksasa. Semua orang juga tahu.
Pagelaran piala dunia juga bisnis yang juga merangsek ke pelosok pedalaman. Setidaknya bagi penggemar sepakbola yang ingin menonton secara langsung lewat streaming. Ya terpaksa secara streaming lewat hape karena televisi menjadi penguasaan istri dan anak yang tak mau nonton sepakbola.
Seperti saya harus membeli paket all matches seharga seratus sepuluh ribu rupiah. Padahal sudah pasang wifi seharga tiga ratus ribu perbulan.
Jadi hanya untuk berhaperia selama pagelaran piala dunia harus mengeluarkan dana sebesar empat ratus ribu rupiah. Sangat mahal bagi lansia yang pensiunannya dari asuransi plat merah digasak koruptor.
Sebenarnya, saat ini saya yang lagi nyepi di tepi hutan jati sudah berniat tak akan nonton piala dunia. Hanya saja hujan yang turun setiap sore hingga dini hari membuat rasa sepi yang membosankan.
Ternyata menonton secara streaming juga membuat jengkel. Sebab paket hanya berlaku untuk satu perangkat saja, yakni hape.
Sehingga mata harus mendelik terus. Untuk menghilangkan rasa lelah di mata, setiap lima menit sekali melempar penglihatan ke laptop sambil berkompasiana.
Untung ada singkong goreng yang dibeli di desa sebelah sejauh tiga kilometer dari rumah.
Sialnya, pemegang hak siar piala dunia amat sangat pelit sekali. Siaran langsung tidak bisa ditangkap layar. Padahal maunya untuk ilustrasi postingan di Kompasiana.