Dua puluh tahun lalu ketika berniat mempersiapkan diri untuk tinggal di Jogja, saya terkesan kehidupan sederhana masyarakatnya. Sekalipun tak jauh berbeda dengan Karanganyar, Kebumen, dan Malang bagian timur dan selatan atau kota-kota kecil di pelosok.
Setiap pagi, menjelang jam kerja jalanan selalu penuh dengan pesepeda mulai dari petani, pedagang, pelajar, atau pegawai kantor. Baik di sekitar tengah kota seperti Puger, Beringharjo, dan Ngasem. Demikian juga daerah pinggiran, seperti Banguntapan, Srandakan, Pandak, Godean, Bibis, termasuk wilayah Kulonprogo.
Perubahan jaman di mana manusia harus cepat bergerak dalam segala bidang, sedikit demi sedikit sepeda pancal tergeser oleh sepeda motor. Apalagi sejak kredit sepeda motor diobral murah dengan uang muka 500 ribu saja.
Kini, sepeda pancal terutama model lawas nyaris tak terlihat lagi. Bukan hanya di tengah kota. Tetapi juga di pelosok.
Sepanjang Jalan Parangtritis hingga Giwangan, Jalan Bantul hingga Pojok Beteng Kulon pada pagi menjelang jam kerja selalu dipadati sepeda motor yang melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Seakan semua sedang berpacu menuju garis finis. Apalagi di persimpangan jalan dengan lampu merah atau orang Jogja menyebut bangjo. Begitu lampu hijau menyala, semua sepeda motor berlomba melaju terlebih dahulu.
Menyalip tanpa mempedulikan kendaraan dari depan dengan mengambil jalur kanan seperti hal biasa. Tentu saja bagi yang tidak terbiasa melewati jalanan seperti ini terasa membuat merinding.
Pengguna sepeda lawas kini tinggal segelintir dan hanya di pelosok. Pemakainya pun hanya kaum lansia dari kaum petani kecil. Luar biasanya mereka mancal atau mengayuh tanpa alas kaki.