Hujan deras bahkan diiringi badai selama beberapa hari ini membuat saya harus mendekam di rumah terus. Terasa begitu membosankan karena listrik juga padam yang mengakibatkan matinya wifi. Membaca buku tak mungkin karena suasana begitu gelap. Susahnya tinggal di tepi hutan jati.
Pagi tadi, walau mendung masih menggantung dan sedikit gerimis saya memaksakan diri berangkat gowes.
Di perbatasan pedukuhan yang sepi tampak beberapa ibu-ibu sedang belanja pada seorang penjual sayur di depan sebuah rumah.
Dua orang ibu-ibu yang melihat saya tersenyum. Saya membalas dengan anggukan sambil menyapa: 'mangga...'
Mereka membalas dengan senyuman dengan pandangan aneh.
Di perempatan lampu merah Desa Ringinharjo Bantul, beberapa anak sekolah yang sedang berhenti memandangku dengan lemparan senyuman.
Seperti tadi, saya pun membalas dengan senyuman.
Ketika lampu hijau menyala beberapa pengendara yang langsung melaju melihat juga tersenyum melihat saya.
Demikian juga ketika berhenti sejenak untuk minum di tepi lapangan Taman Paseban, beberapa siswa dan orang yang sedang olahraga memandang saya dengan senyuman yang agak mencurigakan.
Ah, betapa ramahnya mereka ini. Mau menyapa orang dari luar kota. Tapi dari mana mereka tahu kalau saya seorang pendatang.
Ataukah mereka menganggap saya aneh karena hari Jumat kok gowes. Pikir saya dalam hati.
Satu jam melaju, gerimis lebat mendera. Di sebuah jalan sepi sekitar 12 km dari rumah, saya menepi berniat memakai jas hujan.
Begitu turun dan mau melepas tas pinggang untuk mengambil jas hujan plastik, saya tersenyum sendiri ternyata celana olahraga dan kaos yang saya pakai semuanya terbalik.
Menurut orangtua jaman dulu, memakai baju terbalik tanpa sengaja artinya akan mendapat sesuatu yang tak terduga tetapi sangat baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H