Pepatah Jawa berbunyi: desa mawa cara negara mawa tata. Dalam bahasa Indonesia berbunyi: lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Artinya setiap daerah mempunyai adat istiadat sendiri, berbeda satu sama lain. Sekali pun dalam satu wilayah dan satu suku.
Akhir September yang baru lalu, saya mendapat kehormatan untuk memimpin upacara kirim doa bagi leluhur untuk persiapan perkawinan di sebuah keluarga di Grajagan, Banyuwangi. Sama seperti wilayah pesisir selatan Jawa Kencong, Pasirian, Dampit, Tumpakrejo, Donomulyo, Wlingi daerah Jawa Timur hingga Wonosari di Jawa Tengah dalam acara ritual tradisional selalu menggunakan bahasa Jawa. Khususnya di daerah perdesaan.
Sorotan penulis kali ini bukan sekedar pada ritualnya yang sepenuhnya menggunakan adat Jawa yang dipimpin oleh seorang sesepuh. Tetapi juga tentang pembagian hidangan kenduri bagi para tamu yang merupakan para tetangga satu yang punya hajat.
Seperti biasa di mana pun selesai penyampaian ujub keluarga dan doa bersama, acara kenduri diakhiri dengan makan bersama lalu tiap undangan pulang membawa juga berkat atau sewadah nasi lengkap dengan lauk pauknya serta diberi kue. Selain masih diberi tambahan dari nasi tumpeng yang disediakan oleh tuan rumah. Ada juga yang tidak mendapat suguhan makan bersama tetapi saat pulang diberi sewadah nasi lengkap dengan lauk pauknya.
Demikian juga di Desa Curahjati, di selatan Banyuwangi. Para undangan disuguhi makanan tradisional tetapi tidak untuk dimakan bersama di tempat tersebut. Makanan akan dibagi oleh beberapa orang tergantung dari jumlah undangannya.
Bedanya, dari rumah para undangan membawa wadah sendiri. Ada yang membawa baskom, bakul, nampam, bahkan panci rice cooker. Tidak ada yang membawa piring sebab terlalu kecil.