Kami memanggilnya Mbah Darmo, lelaki tua yang hidup bersama cucu satu-satunya teman kami sekolah dan sekampung. Pekerjaan beliau hanyalah mengolah ladangnya yang tak terlalu luas dan hanya berupa perengan (tanah tebing) di tepi Kali Brantas.
Ladangnya yang tak terlalu subur hanya ditanami buah-buahan seperti nangka, sukun, rukem, dan duwet serta beberapa tanaman singkong dan kacang panjang yang tak terlalu subur karena tertutup rerimbunan.
Juga ada tebu wulung (tebu hitam keunguan) dan kelapa hijau. Sekali pun demikian tanaman-tanaman itu menjadi handalan makan sehari-hari Mbah Darmo dan Paidi, cucu satu-satunya.
Sedang untuk kebutuhan beras, Mbah Darmo membeli dari hasil keringatnya mencari rumput untuk pakan ternak tetangganya, membantu membersihkan rerumputan sawah, atau menyabit kala panen tiba.
Ladang dan rumahnya yang ada di tepi sungai memang begitu sejuk sehingga membuat kami sering bermain ke rumah Mbah Darmo sambil mencari duwet dan rukem, lalu mandi dan bermain di kedhung (lubuk sungai).
Jika terasa lapar Mbah Darmo mencabutkan sebatang singkong untuk dibakar bersama-sama. Kami sungguh gembira. Walau kami kadang disetrap (dihukum dengan berdiri di depan kelas) bu guru karena sering lupa mengerjakan peer atau mbolos hanya karena ingin bermain di sungai.
Suasana seperti ini berlangsung saat kami masih kelas 4 SD hingga 3 SMP. Saat menginjak usia SMA kami mulai jarang bermain bersama karena saya harus melanjutkan sekolah, Paidi harus bekerja sebagai buruh tani karena Mbah Darmo semakin renta dan tak kuat lagi bekerja.
Sedang tiga teman kami lainnya harus bekerja pula sebagai buruh karena tiada beaya untuk melanjutkan sekolah. Namun setiap sore kadang masih bercengkerama bersama di pos ronda dekat rumah Mbah Darmo.
0 0 0
Suatu minggu pagi di awal musim kemarau yang dingin mbediding, saat kami sedang omong kosong sambil caring di depan gubuk terlihat Mbah Darmo dan Paidi menuntun empat ekor kambingnya.
"Mau kemana Mbah?" tanyaku iseng walau sebenarnya tahu kalau kambingnya mau dijual ke pasar hewan.