Sedang asyik-asyiknya bicara tentang keberhasilan saya dan istri membuat rekor gowes sejauh 63 km pada Kamis, 18 Maret lalu, tiba-tiba saja Si Tengah memberitahu bahwa ia tidak bisa merasakan dan membau masakan yang tersaji dan disantapnya.
Sontak makan malam segera kami hentikan lalu menghubungi seorang dokter teman kami sejak mudika. Berkat Beliau, malam itu kami sekeluarga langsung test swab di RS Panti Nirmala, dan hasil positif untuk Si Tengah dan negatif untuk yang lain.
Atas saran pihak rumah sakit pula, Si Tengah dianjurkan isolasi mandiri di RS Lapangan Idjen Boulevard yang memang khusus menerima pasien Covid-19.
Esok harinya, kami langsung memberitahu pihak RT-RW akan kejadian ini dan menghubungi RS Lapangan Idjen Boulevard yang respon cepat dan segera akan mengirim ambulan.
Atas dasar bahwa Si Tengah tidak ada gejala demam dan batuk serta supaya tidak menjadi geger kami mengantar sendiri.
Hanya dalam hitungan 3-4 jam, berita terpaparnya putri kami membuat kampung dan gereja paroki kami geger.
Maklum, di blog perumahan kami sebelumnya ada 2 orang warga gereja yang meninggal akibat covid-19 dengan penyakit bawaan ditambah lagi kami yang melayani secara pastoral.
Apalagi sejak natal sebagai pelayan gereja kami berdua aktif di banyak kegiatan mulai dari paduan suara hingga ketahanan pangan.
Di blog perumahan banyak yang memuji karena kami cepat tanggap, di sisi lain banyak yang kuatir dan takut sebab berkat laporan kami, membongkar beberapa warga yang positif dan dirawat di rumah sakit tanpa memberitahu pihak RT-RW.
Sedang pihak RT-RW mendapat kabar dari Puskesmas. Kampung pun menjadi sepi apalagi tiga hari kemudian 2 tetangga kami meninggal akibat covid-19. Makin gegerlah kampung.
Di gereja pun geger dan diputuskan dalam satu wilayah tempat tinggal kami sekitar 300 umat tidak diperkenankan mengikuti perayaan ekaristi selama pekan suci, sekali pun jumlah warga sudah dibatasi sesuai dengan protokol kesehatan.