Lihat ke Halaman Asli

Mbah Ukik

TERVERIFIKASI

Jajah desa milang kori.

Manik Maja (Manik Maya)

Diperbarui: 27 Februari 2021   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

Kalanipun taksih awang-oewoeng, dereng wonten boemi kalijan langit, ingkang koetjap roemijin namoeng Sang Hjang Wisesa, poenika ingkang wonten, kendel satengahing jagad, boten ebah-ebah, salebeting batos angeningaken poedjinipoen, njatakaken karsanipun ingkang Mahapasti, wiwit wontening lelampahan. Menggah tjipatanipoen ing batos Sang Hjang Wisesa waoe, boten wonten sanes namoeng wontenipoen pijambak. Toemoenten mireng wonten swara, oengelipoen tetela kados genta. Sakedhap Sang Hjang Wisesa kaget, noenten soemerep wonten goemandhoel ing awang-awang, roepinipoen kados tigan. Enggal tjinandhak sinangga ing tangan, dipun tjipta tigang prakawis. Saprakawispoen dados boemi langit, kalih prakawispoen dados tedja toewin tjahja, tigang prakawisipoen dados Manik toewin Maja. Poenika sadaja sami soedjoed dhateng Sang Hjang Wisesa.

Bahasa Indonesia.

Kala itu masih kosong sama sekali, belum ada bumi dan langit, yang terucap terlebih dahulu hanya Sang Hyang Wisesa, hanya itu yang ada, berada di tengah jagad, tidak bergerak, di dalam batin mengheningkan cipta pujian, menyatakan kehendak Mahaspati, mulai ada perjalanan. Dalam keheningan batin Sang Hyang Wisesa ini, tidak ada yang lain selain dirinya sendiri. Tetiba terdengarlah suara, gemanya bagaikan genta. Sejenak Sang Hyang Wisesa terhenyak, tampak terlihat tergantung di awang-awang, wujudnya bagaikan telor. Segera diambil dan ditaruh di tangan, dan diciptakan tiga perkara. Pertama tercipta bumi dan langit, kedua pelangi dan cahaya, dan ketiga menjadi Manik dan Maya. Mereka semua bersembah sujud kepada Sang Hyang Wisesa. (bersambung)

Catatan:

  • Manik Maja ( Manik Maya ) adalah kisah penciptaan alam semesta menurut mitologi Jawa.
  • Tulisan di atas merupakan saduran sepenuhnya dari buku KESASTERAAN DJAWA Empat Serangkai yang ditulis oleh Dr. Prijohutomo dan diterbitkan oleh Jajasan Pembangunan - Djakarta pada 1952 sesuai penanggalan pada pengantar buku tersebut. Penulis (saya) hanya sedikit mengubah ejaan yang berdasarkan ucapan dalam Bahasa Jawa pada huruf D atau d (dengan tanda titik persis di bawah huruf ) menjadi Dh atau dh sekedar untuk memudahkan pengetikan.
  • Untuk D atau d (dengan tanda titik persis di bawah huruf ) atau Dh dan dh dalam bahasa Jawa, saat membaca ujung lidah diawali menyentuh langit-langit rongga mulut. Misalnya, kata: dhuwit (Indonesia: uang), gludhuk (Indonesia: guntur), bledhek (Indonesia: petir).
  • Sedang untuk huruf D atau d dalam bahasa Jawa, saat membaca ujung lidah diawali menyentuh bagian belakang gigi atas. Misalnya, kata: dudu (Indonesia: bukan), durung (Indonesia: bukan), dadi (Indonesia: menjadi).
  • Sekali pun banyak ahli memasukkan kisah ini sebagai sebuah karya sastra, namun menurut penulis merupakan sebuah pandangan menurut filosofi budaya Jawa sebab hingga masa kini masih ada agama lokal yang memandang sebagai sebuah kisah penciptaan, maka dari itu dimasukkan dalam filsafat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline