Lihat ke Halaman Asli

Mbah Ukik

TERVERIFIKASI

Jajah desa milang kori.

Jajah Desa Milang Kori (Keliling Desa Menimba Ilmu)

Diperbarui: 26 Februari 2021   06:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi.

Jajah desa milang kori, adalah peribahasa Jawa dari kata jajah: keliling; desa: desa; milang: menghitung, dan kori: pintu. Jika diterjemahkan arti harafiahnya keliling desa menghitung pintu. Maksudnya yang tepat, keliling desa mencari pengalaman, pengetahuan, dan nafkah. 

Sebagai orang yang suka blusukan yang dalam bahasa Jawa, penulis disebut kaya kleyang kabur kanginan atau bagai daun kering yang terbawa angin, setiap hari selalu keliling desa untuk mencari ilmu dan nafkah dengan betgowesria bersama istri. 

Kadang cuma hanya 15 km pergi pulang kadang hingga sekitar 48 km. Banyak yang didapat dari pertemuan dan perbincangan yang kami lakukan dengan para petani atau pun kelompok tani selama perjalanan dan menjadi sebuah kisah yang dapat menjadi inspirasi bagi orang lain.

Panen kangkung di Balai RW. Dokumen pribadi

Panen kangkung dan lembayung di gereja kami. Dokumen pribadi

Kamis, 25 Februari 2021 kami berdua berangkat dari rumah jam 7.30 menuju ke arah timur dan tenggara sejauh sekitar 17 km.
Singgahan pertama hanya sekitar 100 m dari rumah untuk melihat dan memberi contoh salah satu ibu PKK untuk memetik kangkung yang kami tanam di polibag di kebun samping balai RW. Sangat membanggakan kebun program ketahanan pangan keluarga cukup berhasil.

Singgahan ke dua, di gereja kami yang telah berhasil menanam dan memanen sayur kangkung, lembayung, sawi pakchoi, dan cabai setelah penulis mengajak beberapa umat untuk menanam sayur polibag di depan halaman gereja. Usaha pertama yang cukup berhasil mendapat perhatian dari umat dan pastor paroki.

Senyum manis karena harga kenikir naik.Foto sendiri

dokpri

Singgahan ke 3 sekitar 7 km dari rumah, berbincang dengan petani sayur kenikir yang kali ini sangat senang karena harga per bentel yang berisi 25 ikat harganya mencapai 18 ribu rupiah, namun gagal panen cabai karena serangan jamur musim hujan. Sehingga harga cabai melonjak seharga 70 ribu di tingkat petani dan bisa mencapai 100 ribu di tingkat konsumen.

Singgahan ke 4, sekitar 10 km dari rumah yakni tempat wisata bernuansa kerajaan, yakni Lembah Tumpang seperti yang telah ditulis K'ner Mas Teguh H. Di sini penulis hanya sekedar minum dan istirahat.

Singgahan ke 5, sekitar 5 km arah selatan dari Lembah Tumpang yakni Museum Panji yang telah ditulis oleh K'ner Lilik Fatimah dengan rinci. Di tempat ini penulis hanya mencari info tentang acara budaya yang sering kami ikuti. Namun karena pandemi Covid-19 banyak acara yang belum terselenggarakan.

Salah satu sudut gerbang Lembah Tumpang. Dokpri

Depan Museum Panji. Dokpri

Dari Museum Panji, kami lanjut ke seorang buruh tani yang kini sukses menjadi pengusaha pembibitan sayur. Inilah singgahan yang ke 6 yang sangat menarik untuk dijadikan sebuah tulisan sebab jarang sekali diketahui profesi yang sangat menguntungkan ini.

Singgahan ke 7, ke sebuah peternakan ayam petelur yang dikelola dengan sangat berhasil oleh seorang yang sebelumnya hanyalah buruh tani.

Pengusaha pembibitan sayur. Dokpri

Mengunjungi seorang peternak ayam petelur yang sukses. Dokpri

Pemanfaatan lahan sempit depan rumah di desa. Dokpri

Dokumen pribadi.

Singgahan ke 8, mengunjungi beberapa rumah petani di desa Tamiajeng yang berhasil memanfaatkan lahan sempit untuk menghasilkan tanaman pangan keluarga, sebuah peternakan ayam petelur, dan urban farming di desa, yakni mengunjungi beberapa petani sayur bayem yang kini sedang mengalami kerugian karena harga perbentel yang berisi 25 ikat sayur bayem hanya 5 ribu rupiah. Atau perikat hanya 135 rupiah!
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline