Perjalanan bergowesria yang hanya sekitar 19km dari rumah menuju Situs Ngawonggo sebenarnya tak terlalu jauh, apalagi sudah kesekian kalinya saya ke sini. Namun 99,5% merupakan jalan aspal lurus tanpa tanjakan dan turunan berarti serta menggunakan sepeda gunung atau MTB bukan RB menjadikan perjalanan cukup menjemukan. Ditambah lagi pemandangan persawahan dan kebun hanya sekitar 30% tanpa pohon perindang serta angin kencang melawan arah semakin melelahkan. Hanya rasa ingin ketemu dan mbolang bersama para blogger dan kompasianer Malang atau Bolang setelah janjian ikut dolan ke Situs Ngawonggo maka perjalanan ini harus dinikmati.
Setelah mengayuh hampir 75 menit, sampailah penulis di gerbang utama situs Ngawonggo yang sejuk karena rerimbunan bambu apus dan petung yang sangat rindang. Gemerciknya irama dan alunan beberapa air pancuran bambu dan aliran sungai Manten yang deras langsung meluruhkan kelelahan yang menempel.
Beberapa gubuk bambu dan kayu sudah penuh di tempati para pengunjung termasuk para goweser. Sebagai sesama goweser pun penulis menyapa mereka dengan senyuman sekali pun tak kenal. Senyuman rupanya hanya sekedar senyuman tanpa balasan senyuman. Tak apalah. Daripada kecewa, penulis langsung ke pawon (dapur) bergaya tradisional Jawa menyapa emak-emak yang sedang memasak nasi jagung dan membuat sayur urap-urap dan lauk pauk yang semua terbuat dari tetumbuhan. Di sini tidak menyediakan makanan dari daging dan telor. Bahkan tidak diperkenankan membawa makanan dari luar yang mengandung daging dan telor.
Dari dapur, penulis langsung menuju ke bedak penjual jajanan tradisional yang tampak manis menggoda selera. Semanis penjualnya yang ramah menyapa kami dengan bahasa Jawa halus.
"Mangga Mas, jajanipun..... gethuk, horok-horok, iwul-iwul, lemet. Legi-legi...." Sapanya. (Mari Mas, kuenya....horok-horok, getuk, iwul-iwul, lemet. Manis-manis...)
"Manis kados sing sadeyan nggih..." (Manis seperti penjualnya ya...)
Mendengar jawaban ini, si penjual tampak tersipu. Mungkin malu mungkin juga senang. Tak apa kan sekali waktu memuji orang lain untuk sekedar memberi kebanggaan. Barangkali di rumah sudah tak pernah dipuji lagi.
Sambil menunggu kedatangan rekan-rekan Bolang yang belum datang, penulis jalan-jalan menyusuri hutan bambu dan tepian Kali Dawuhan yang sebenarnya saluran irigasi yang dibangun pemerintahan kolonial Belanda untuk mengairi ratusan hektar sekitar Kecamatan Tajinan utamanya Desa Dawuhan.
Di tepi tebing antara Kali Dawuhan dan Sungai Mantenan inilah terdapat 4 situs Ngawonggo yang masih menjadi misteri pada masa kerajaan apa dibangun. Kedatangan Empu Sindok pada abad ke X ke Ngawonggo ini dalam rencana pembangunan situs sebagai tempat pemujaan dan penyembuhan karena adanya mata air ataukah situs ini sudah ada sebagai tanah pardikan di bawah kekuasaan Kadhiri. Masih perlu kajian lebih lanjut daripada sekedar perkiraan dengan adanya reliaf-relief tanah cadas yang mulai rusak.
Lelah berkeliling sendirian, penulis kembali ke penjual jajanan tradisional untuk sekedar mengganjal perut sambil menunggu kedatangan para Bolangers. Tak disangka tak diduga, seorang goweser marinir memperhatikan penulis kala minta sepincuk jajanan pasar.
"Sini Mas, kupotokan dengan penjual yang manis."