Hujan seharian di hari Minggu, membuat cuaca Senin pagi tetap mendung namun cuaca seperti ini menantang saya untuk menikmati indahnya alam yang mungkin tak begitu menarik bagi orang lain yang harus menjalankan tugas untuk bekerja. Untuk menghilangkan kebosanan hanya pergi ke sawah setiap hari, kali ini mengajak pasangan hidup saya gowes menyusuri sungai Bango, Kalisari, dan Amprong yang berjarak hanya sekitar 1,5 km saja dari rumah. Tentu saja bukan sekedar bergowesria tetapi mencari dan melihat sesuatu yang unik dan menarik untuk sebuah catatan.
Hanya 15 menit mengayuh dari rumah sudah sampai di bibir Kalisari yang merupakan sebuah aliran irigasi yang dibangun pada masa kolonial Belanda. Bau amis menyengat dari Kalisari yang menyusut karena pintu bendung Kalisari ditutup karena pasokan air Kali Amprong di bawah kapasitas debit minimal.
Tak jauh dari jembatan gantung bambu yang tak begitu kokoh, tampak tiga orang lelaki sedang mengais-ngais lumpur dasar sungai yang surut. Awalnya kami anggap sedang mencari ikan uceng yang terjebak lumpur, ternyata mereka sedang mencari cacing sutra yang habitatnya memang ada di dalam lumpur sungai. Bau menyengat yang cukup menusuk hidung serta lumpur pekat tak dihiraukannya demi mendapat segelas atau mungkin sebotol cacing sutra yang dijadikan pakan ikan hias. Segelas atau 200cc cacing sutra bisa laku seharga 10 ribu rupiah, sedang sebotol air minum kemasan 800cc bisa terjual 50 ribu rupiah. Dalam sehari atau selama 3 jam pencarian, rerata mereka bisa mendapat 500cc atau setara 30 ribu rupiah. Tentu akan lebih banyak didapat jika pintu bendung lama ditutupnya, namun jika segera dibuka atau hanya 2 jam saja mungkin mereka hanya mendapat 200cc saja. Sebuah pendapatan yang sangat kecil dibanding resiko yang harus dihadapi namun harus dijalani sebab di masa pandemi seperti ini mereka yang sebenarnya juga bekerja sebagai pemulung dan pedagang K5 juga merasakan betapa beratnya untuk mencari nafkah.
Setelah 4km menyusuri Kalisari, di pintu bendung Kali Amprong kami berdua pindah jalur menyusuri Kali Amprong sepanjang 7 km menuju ke pesawahan sekitar Desa Banjarsari. Di atas jembatan tepi jurang Kali Amprong kami bertemu seorang pencari ular cobra yang konon akan dijadikan obat penambah stamina pria. Kami juga bertemu dua pemuda yang sedang mencari bulus untuk diambil dagingnya. Konon dagingnya lezat untuk dimasak apalagi disate.
Belum lama kami berbincang dengan pencari bulus dan ular kobra, tiga pemuda seusia SMP dan SMA berjalan tanpa alas kaki serta membawa sabit datang untuk mencari rumput. Penampilan mereka yang sederhana cukup mengejutkan penulis sebab seperti halnya pencari bulus dan ular kobra ketika kami ajak berbincang ternyata menggunakan bahasa Jawa yang cukup halus. Padahal penulis menggunakan bahasa Jawa ngoko atau kasar.
"Tidak sekolah?" tanya penulis. Dengan senyum lembut dan suara halus mereka mengatakan lebih baik mencari rumput untuk sapi dan kambing Etawanya yang lebih menjanjikan secara ekonomi daripada sekolah.
Bukan hanya kehidupan di kota yang konon banyak menyerap tenaga kerja karena salah satunya banyaknya komplek pertokoan, apalagi kehidupan di desa, masalah pendidikan yang dianggap kebanyakan orang bisa menciptakan tenaga kerja ternyata hanya sebuah angan. Seperti mereka ini yang merupakan sedikit gambaran betapa untuk mencari nafkah tak harus mengandalkan hasil pendidikan di sekolah tetapi kemauan yang keras untuk terus berjuang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H