Lihat ke Halaman Asli

Mbah Ukik

TERVERIFIKASI

Jajah desa milang kori.

Tangguhnya Petani Lansia yang Terus Bekerja

Diperbarui: 12 Oktober 2020   00:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: dokumen pribadi

Langit cerah dengan sedikit mendung di penghujung musim kemarau udara terasa demikian gerah. Terik mentari begitu menyengat tubuh apalagi sebagian hamparan sawah masih kerontang tanpa air semakin menambah betapa gerahnya hari ini. Sebagian lagi hamparan sawah yang waktunya diolah masih mendapat pasokan air sehingga masih tampak menyegarkan sekali pun belum ditanami.

Di hamparan sawah yang kering tampak beberapa petani tua sedang mencangkul menggemburkan dan mengolah tanah. Tanah kering tak mungkin dibajak dengan mesin atau secara tradisional dengan sapi selain harus dicangkul.

"Sendirian saja, Pak?" tanya saya pada Pak Jarot lelaki senja yang mencangkulnya.

"Sedikit garapan jadi saya kerjakan sendiri," jawabnya dengan suara lembut dan halus seakan menggambar bukan warga Malang asli yang sedikit kasar.

Senyumnya yang lugu menampakkan giginya yang masih lengkap  menunjukkan ketegaran wajahnya di antara keriput kulitnya yang telah dimakan usia. Ongkos sebesar 750 ribu untuk tanah seluas sekitar 800m persegi akan diterima Pak Jarot kala sudah selesai dalam waktu kurang lebih sepuluh hari.

Foto: dokumen pribadi

Foto: dokumen pribadi

Dokumen pribadi

Di sisi lain tampak pula seorang petani tua, sebut saja Mbak Karyo  sedang mencangkul sawahnya seluas setengah hektar yang penuh air untuk disiapkan menanam padi.

"Kok dicangkul sendiri,Pak?" tanya saya iseng.

"Ongkosnya mahal. Kemarin rugi 20 juta karena harga sayur anjlok," jawabnya sambil menarik nafas lalu meniupnya kembali secara perlahan. Tubuhnya yang kecil dengan keriput yang menghiasi kulitnya namun dengan tatapan mata yang jernih menunjukkan betapa tangguhnya Mbah Karyo.

Hanya dua ratus meter di selatan sawah Mbah Karyo, lelaki tua tangguh tampak sendirian sedang memanen brambang prei. Ia melemparkan senyumnya kepadaku sambil menyapa dengan sebuah pertanyaan. "Mau ambil pepaya? Itu busuk...." Katanya sambil menunjuk ke arah pohon pepaya dengan tujuh pepaya yang busuk karena lalat buah.

Begitu penulis duduk di pematang, Mbah Suep pun datang mendekat lalu duduk di depan penulis. Tubuhnya yang mungil dengan otot-otot yang tampak tak menunjukkan kerentaannya selain wajah tangguh. Kala duduk kadang tampak tatapannya sedikit ke arah jauh entah ke mana, atau kadang menatap rendah ke  arah tanah dengan tarikan dan hembusan nafas yang mulai terengah. Saya tak berani menatapnya selain melirik terkagum akan ketegarannya.

"Syukurlah hari ini harga sedang naik." Katanya mengawali pembicaraan di bawah pohon kelapa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline