Seminggu terakhir ini, saya klayaban sekitar Jogjakarta mulai Bantul hingga Sleman. Kadang sekedar duduk-duduk sekitar Goa Selarong, kadang menyusuri hutan jati atau rerimbunan pohon sawo yang banyak tumbuh di halaman rumah penduduk Dusun Gowasari.
Entah siang saat ramai atau saat malam hari kala banyak warga hanya rebahan di dalam rumah karena cuaca panas. Selama klayaban senja atau malam hari berharap ketemu lelembut yang menampakkan diri.
Selasa dan Rabu kemarin juga klayaban ke Gereja Katolik Ganjuran Bantul dan Gereja Pugeran Jogja juga tak ketemu. Mana mungkin di tempat suci ada lelembut? Kata istriku. Benar juga ya....
Nah, hari ini Jumat Legi apalagi sedang purnamasidhi alias terang bulan purnama menurut keyakinan sebagian orang Jawa banyak lelembut gentayangan. Entah untuk apa gentayangan.
Pada hari ini pula seharusnya saya dan istri mengikuti ritual Macapat Padhang Bulan di Candi Jago bersama para budayawan Malang.
Apalagi juga sudah diingatkan Mas Abdul Malik seorang Kompasianer Malang yang juga pengurus Dewan Kesenian Jawa Timur, namun karena masih berada di Bantul untuk mencari atau menggali budaya di sini maka tak bisa hadir ikut macapatan.
Purnama kali ini begitu terang, cahayanya menerobos rerimbunan daun bambu dan jati mengingatkan saya saat masih kanak-kanak awal tahun 60an bersama teman-teman bernyanyi riang dan bermain Slebur-slebur lalu main Nyi Putut yang kini dianggap sirik karena mengundang lelembut.
Padahal selama ini kalau main Nyi Putut tak pernah didatangi lelembut. Apalagi jin setan dan sejenisnya. Entah mengapa orangtua masa tahun 80an hingga kini pikirannya ketakutan akan permainan Nyi Putut dan Jelangkung?
Apalagi kalau saya ngajari anak-anak lagu dolanan anak-anak tradisional Jawa yang berjudul Cungkup-cungkup yang berkisah tentang uniknya kuburan.
"Ah itu permainan dan lagu memanggil hantu....," kata seorang tetangga kami di Bantul.
"Nanti lelembutnya minta korban," kata yang lain.