Membaca karikatur harian Kompas hari ini yang dimuat ulang di IG @hariankompas yang menggambarkan kehidupan petani masih belum sejahtera atau bahkan miskin daripada profesi lainnya membuat saya merenung.
Apalagi di karikatur tersebut tergambar pula para cukong berdasi dalam wujud orang-orangan sawah atau dalam budaya Jawa disebut memedi sawah yang dibuat untuk menakut-nakuti burung pipit dan manyar sebagai salah satu hama padi. Namun pada karikatur itu, memedi sawah ini tidak menakuti burung-burung pipit dan manyar tetapi justru menakuti petani.
Siapakah memedi sawah atau cukong berdasi itu? Pengijon, tengkulak, para pengusaha (penggilingan) beras, atau para pejabat pengambil keputusan harga dan import beras atau hasil pertanian lainnya? Saya yang kadang menjadi tengkulak pun merasa tersentil. Apalagi beberapa kali di akun medsos, saya bergaya narsis bak cukong atau tengkulak kala berhasil menawar sepetak padi yang siap panen.
Padahal kenarsisan saya ini bukan sekedar nampang tapi untuk memberi contoh kaum muda bahwa kita yang hidup di negeri agraris ini mempunyai banyak kesempatan bekerja di sektor pertanian. Apa pun bentuknya asal saling menguntungkan.
Ada sekitar 17 draft tulisan saya tentang pertanian yang siap posting dan menunggu waktu yang tepat untuk tayang, namun 4 draft yang siap kini menjadi buyar karena karikatur tersebut.
Keempat draft tulisan tersebut yakni, Mengapa Kaum Muda Enggan Bertani, Pengijon dan Tengkulak, Kesejahteraan Petani dan Buruh Tani, dan Tanaman Padi Mulai Ditinggalkan Petani. Draft-draft ini saya olah lagi menjadi tulisan ini untuk menanggapi karikatur tersebut.
Benarkah petani kita masih hidup pra sejahtera?
Sebagai tengkulak yang kadang mengadakan perjalanan ke daerah pelosok, pada masa kini sulit menemukan gambar nyata para petani hidup di garis kemiskinan atau pra sejahtera.
Sejak lima belas tahun terakhir hampir sangat sulit menemukan rumah-rumah bambu atau gedek atau rumah klenengan separuh dinding bata dan separuh gedek.
Sebaliknya menemukan rumah-rumah bergaya masa kini berlantai keramik dengan dua atau tiga sepeda motor serta penghuninya memegang smartphone adalah hal biasa. Bukankah ini sebagai tanda bahwa kesejahteraan petani sudah meningkat tajam.
Memang ada beberapa pengecualian, di mana kehidupan masyarakatnya tampak demikian makmur padahal sawah dan ladangnya boleh dikatakan tandus dan hanya subur saat musim penghujan atau sawah tadah hujan.