Suatu yang luar biasa pada postingan di kompasiana.com kemarin adalah puluhan tulisan tentang harga kebutuhan pokok selama awal bulan puasa harganya cukup stabil. Hanya ada dua kompasianer yang mengatakan adanya kenaikan harga kebutuhan pokok dan sayur mayur di tempatnya. Sedang yang mengatakan adanya penurunan harga hanya ada 4 kompasianer, terutama harga daging ayam dan cabai. Dan hanya ada satu penulis yang mengeluhkan fluktuasi harga yang sulit ditebak. Keluhan para kompasianer, bukan hanya kaum ibu tetapi juga para suami, akan kenaikan harga hanya pada komoditas gula pasir yang mencapai 30%. Dan ada juga yang mengeluhkan kenaikan harga gas melon yang seharusnya tak terjadi, sebab kenaikan harga gas 3 kg ini lebih disebabkan konsumen tidak miskin ikut membeli dan memakai. Sebuah keluhan yang wajar sebab kebutuhan gula pada bulan ramadhan biasanya cenderung naik untuk memenuhi makanan tambahan seperti kue, kolak, dan sejenisnya. Apalagi di masa pandemi covid-19 ini banyak yang terdampak berkurangnya pendapatan terutama bagi mereka yang bekerja secara lepas tanpa mendapat gaji rutin bulanan.
Stabilnya tentu saja membuat para ibu dan suami juga sedikit tersenyum karena tidak seperti biasanya pada saat awal bulan puasa dan hari raya Idul Fitri selalu bergejolak dengan kenaikan yang sangat mendebarkan.
Hal yang jarang diketahui masyarakat pada umumnya bahwa stabilnya harga kebutuhan pokok juga membuat stabilnya harga sayuran yang membuat para petani juga ikut tersenyum. Kala kebutuhan pokok naik, apa pun yang terjadi tentu akan membeli sekali pun agak dikurangi namun juga mengetatkan pinggang untuk tidak memenuhi kebutuhan sekunder seperti sayur mayur apalagi buah. Terpenting bagi mereka adalah makanan pokok. Jika ini yang terjadi tentu saja petani tak bisa tersenyum sekali pun tidak juga cemberut. Hanya sedikit sedih.
Susah sedih memang harus kita alami.
Kala petani panen raya dengan hasil yang memuaskan tentu saja akan gembira. Sekali pun pada saat panen raya biasanya harga sedikit turun. Bagaimana bila harga sayuran naik, apakah para petani sayur juga tersenyum? Tentu saja tetap tersenyum, sebab semua yang terjadi harus disyukuri. Tetapi bukan berarti tanpa sebuah tantangan dalam arti bisa menimbulkan kesedihan, sebab kenaikan harga biasanya juga menurunkan daya beli masyarakat atau konsumen. Saat inilah petani hatinya kebat-kebit kuatir sayurnya yang sudah waktunya dipetik justru jumlah konsumen menurun. Menunda panen juga berakibat kurang baik, sebab sayur yang melebih umur panen biasanya akan berbunga dan tidak menarik lagi bagi konsumen. Karena sayur yang sudah mulai berbunga maka batang sayur dan daun sayurnya mulai mengeras dan warna mulai kusam. Jika toh harus dipetik maka lebih banyak memakan waktu karena harus membuang pucuk bunga agar tampilan menarik dan daun sayur tampak masih muda dan segar. Bukankah konsumen, eh kita suka daun muda yang segar?
Beberapa hari yang lalu hingga kemarin, langit di atas pesawahan tempat kami dan para petani bekerja cukup cerah. Sinar mentari dan mendung silih berganti membakar dan menyegarkan serta menemani kami untuk bekerja kala kebanyakan orang harus #dirumahsaja dan #bekerjadirumah. Namun kami tetap bekerja dengan senyum tersungging. Seperti bangau yang susah payah mencari seekor ikan atau katak di tengah sawah yang kini tercemar pupuk dan pestisida. Seperti lebah yang terus mencari madu di ladang yang penuh bunga. Atau seperti bunga yang tersenyum mekar untuk menjadi buah yang akan memberi kehidupan bagi manusia. Tersenyumlah....seperti mekar kemuningnya bunga mentimun dan seputih bunga ucet dan bunga terong di ladang petani yang juga tersenyum bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H