Lihat ke Halaman Asli

Mbah Ukik

TERVERIFIKASI

Jajah desa milang kori.

Menikmati Keheningan Alam dan Kasih Sayang Ibu Bumi

Diperbarui: 16 April 2020   17:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Setiap Rabu Legi yang merupakan hari dan pasaran sakral bagi komunitas Jawa Sanyata selalu mengadakan sesembahan kepada Sang Hyang Wenanging Jagat, namun pada Rabu kemarin kami hanya bersemedi sederhana bersama beberapa tetua adat saja. 

Lalu, penulis melanjutkan permenungan pribadi dengan menjelajahi dan menyatukan diri sebagai jagat alit dengan alam sekitar di kaldera Bromo yang saya anggap sebagai tempat di mana bisa merasakan kasih Ibu Bumi dan menyatu dengan alam semesta.

Dokpri

Timur laut kaldera padang rumput. Dokpri

Selatan kaldera hutan adas pulo waras. Dokpri

Posisi penulis, perbatasan padang rumput dab hutan adasan. Sumber: Tangkap layar aplikasi kompas. Dokpri

Lembut dan segarnya angin gunung dengan mendung menggelayut tipis pertanda tak akan turun hujan sesuai data dari aplikasi weather, saya turun ke kaldera sekitar jam 1 siang. 

Hanya butuh waktu 10 menit sudah sampai di tengah-tengah kaldera perbatasan antara padang rumput dan hutan adasan atau adas pulowaras (foiniculum vulgare). 

Kupetik bunga setangkai kecil buah adasan yang belum kering, kunyah dan nikmati segarnya sambil merasakan semerbak harum lembutnya padang adasan yang membuai. Lalu duduk bersila dan semedi....

Batas padang rumput dan adasan. Dokpri

Gunung Kursi yang gagal saya daki siang kemarin. Dokpri

Kaldera dilihat dari Gunung Kursi. Dokpri

Ketinggian yang saya capai di G. Kursi. Dokpri

Tangkap layar Weather Alert. Dokpri

Jam 13.50, setelah sepeda motor saya tempatkan di tengah belantara adasan kemudian melatih diri dan ketangguhan nafas dengan mendaki sebuah gunung yang terbentang di sebelah barat laut. 

Belum tiga ratus meter berjalan dari ketinggian 2105,4m ke 2111,m hembusan angin cukup keras seakan tanda akan hujan, saya pun turun kembali ke selatan sejauh 2 km saja dengan naik sepeda motor.

Tanpa data aplikasi weather ternyata dugaan saya meleset, ternyata angin justru membawa pergi sebagian mendung. Di dekat punden Watu Gedhe, sepeda motor kembali saya sembunyi di sela rerumputan setinggi  dua meter lalu tertarik mendaki sebuah tebing dengan kemiringan antara 75-85 derajat. 

Sebuah tempat di mana kami sering 'laku semedi' bersama beberapa orang anggota komunitas. Suasana yang demikian hening, selain suara nyanyian daun-daun pinus dan cemara gunung atau sekali waktu kepak ayam hutan dan jeritan elang Jawa.

G. Kursi dilihat dari tebing bantengan. Dokpri

Mendekati puncak tebing Bantengan. Dokpri

Ketinggian yang penulis raih selama mendaki 2 jam. Tangkap layar aplikasi kompas, Dokpri

Tanpa target batas waktu dan ketinggian, selama dua jam merayap akhirnya sampai juga di ketinggian 2475,3m. Tak perlu sampai puncak. Toh di ketinggian sana ada cacing dan serangga atau binatang kecil yang lebih kuat dariku. Giri lusi tan jalma kena ingina. Cacing gunung yang kecil dan dan lamban namun sudah ada di puncak, manusia tak boleh menghina. Bukanlah sikap pasrah tetapi dalam keheningan alam dan suasana, manusia diajak untuk merenung untuk tidak terlalu muluk menggapai keinginan.

Jam 16.15 turun dan tiba di gubuk desa jam 16.40 sore.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline