Gejolak pandemi Covid-19 yang memporak porandakan sendi kehidupan seluruh dunia, menyimpan satu pertanyaan mendasar dari mana asal muasal virus ini. Ada sedikit berita yang masih simpang siur dan sulit diterka mana yang benar, ini merupakan senjata biologis yang diciptakan antara Amerika dan China.
Ada pula yang rada-rada asing bagi orang awam ini merupakan kelompok fermason yang ingin berkuasa sepenuhnya di dunia ini. Mana yang benar masih teka-teki.
Jawabannya menunggu waktu. Entah kapan. Sementara kita masih berupaya memutus penyebarannya saja dan memperkuat imun tubuh tak lupa imun hati agar tak mudah termakan hoaks.
Sebenarnya bumi atau dunia ini bukan hanya sekali diserang pageblug lelembut yang tak kasat mata dan kedatangannya tak terduga. Mulai dari flu Hongkong, flu burung, flu babi, dan sekarang Covid-19. Budaya Jawa mengatakan 'isuk lara sore mati, awan lara bengi mati' artinya pagi sakit sore meninggal dunia, siang sakit malam mati. Gawat sekali.
Masih ada juga yang lebih mengerikan yakni terserang AIDS, sekarang sakit lalu menderita selama berminggu-mingu hingga bertahun-tahun baru meninggal. Kita prihatin. Sedih. Tapi kini seperti telah terlupakan. Akankah Covid-19 juga seperti ini? Terlupakan.
Pertengahan tahun 70an, dunia juga geger (mungkin lebih banyak kasusnya terjadi di Indonesia) dengan munculnya hama baru wereng yang resisten terhadap pestisida akibat gagalnya revolusi hijau untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Secara perlahan, upaya manusia untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan ternyata lebih banyak membawa dampak negatif terhadap lingkungan hidup dengan rusaknya ekosistem.
Jika hama dan virus yang telah menjadi bibit penyakit bagi seluruh mahluk hidup kini telah atau kelak bisa diperlambat penyebarannya akankah suatu saat bisa menyebar atau meledak lagi tanpa kisa bisa berbuat apa-apa. Lalu datanglah mahluk masa depan semacam 'terminator' yang akan membantu kita memusnahkan Covid-19 dan teman-temannya.
Ini bukanlah sebuah pertanyaan dan pernyataan pesimis dan sikap fatalistis selain untuk melihat ke dalam diri sendiri selama Pembatasan Sipil Berskala Besar. Bukankah disadari atau tidak selama ini lebih banyak menyakiti bumi dengan pola atau gaya hidup 'asal gue senang' tanpa melihat kehidupan lain.
Melihat burung beterbangan di atas sawah kini sudah cukup langka apalagi mendengar kicauannya. Tarian bangau di petak sawah sudah jarang lagi karena ikan sudah banyak yang ikut mati oleh pestisida yang merasuk di pengairan sawah.
Suara katak menjelang malam semakin sepi tanpa kerlap-kerlipnya kunang-kunang. Bahkan di gubuk kami, saat siang ada kadal yang omnivora pun harus merayap ke atas meja tanpa malu-malu apalagi takut, untuk sekedar minum dari air yang tumpah dan melahap sayuran sisa makanan penulis karena air sungai kecil yang hanya berjarak dua langkah telah tercemar. Rerumputan pun tak layak bagi belalang sehingga kadal kehilangan makanan.