Lihat ke Halaman Asli

Mbah Ukik

TERVERIFIKASI

Jajah desa milang kori.

Tengah Hari di Tengah Sawah

Diperbarui: 15 Maret 2020   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepi. Dokpri

Siang ini, sepulang dari gereja, seperti biasa kami lebih banyak menghabiskan waktu menyegarkan diri dan pikiran ke sawah dengan gowes. Dunia maya sedikit kami singkirkan walau tangan terasa gatal sehingga kadang-kadang melirik Kompasiana, namun akan segera kututup jika istri tahu.

Terik matahari yang cukup menyengat sekali pun mendung bertaburan di angkasa. Namun semilirnya angin dan gemercik air irigasi serta siulan dedaunan yang menari bersama nyanyian cendet serta kepakan tekukur sedikit menghibur kami juga para petani yang kegerahan.

Di bawah pohon petai yang lebat kami selonjor dan kadang merebahkan diri menikmati alam pedesaan yang tenang jauh dari gempitanya Covid-19. Sebenarnya ingin tiduran di dangau, namun malu juga disemoni (dibicarakan) para petani yang mulai berbenah diri mengakhiri semua pekerjaan.  

Dokpri

Dokpri

Dokpri

Dokpri

Jam 12 siang bedug masjid mulai bertalu disusul suara adzan, serentak para buruh tani wanita yang memetik sayur seperti bayam, kenikir, sawi, kemangi, dan kangkung mulai mengakhir pekerjaan sekali. 

Di pinggir setapak jalan menuju pematang sawah beberapa penjemput dengan sepeda motornya sudah menunggu. Ada suami menjemput istri, ada anak menjemput ibu, dan ada juga cucu menjemput nenek. Beberapa buruh tani wanita ada juga yang pulang berjalan kaki bersama. Ada juga yang jalan kaki sendirian.

Beberapa petani pria masih ada yang sibuk dan belum segera pulang. Bahkan kadang hingga menjelang senja. Ada yang masih mencuci sayur atau sekedar menyirami sayur yang baru dipanen agar tetap segar dan tak layu saat dibawa ke pasar atau diantar ke rumah pengepul.

Ada juga yang masih sibuk mengikat sayur hasil petikan sendiri. Mumpung tak ada gerimis bahkan tak mingkin hujan karena angin tak begitu deras dan dingin sebagai tanda alam maka ada pula yang sibuk menyemprot atau membunuh rumput dan ilalang.

Pohon petai. Dokpri

Dokpri

Dokpri

Dokpri

Sekitar jam dua para petani pria sudah banyak yang menyelesaikan tugasnya mengikat, mencuci, menaruh sayur di atas sepeda motornya. Maka mereka pun segera meninggalkan sawah menuju pasar sayur desa atau lokal. Di sana para pengepul sudah menunggu. Ada pula yang langsung pulang sambil membawa perlengkapannya karena hari ini mereka mengolah sawah saja bukan sedang memanen. 

Seorang petani tua tampak sedang membawa segerobak dorong daun pisang hasil panennya. Lumayan hari ini bisa menghasilkan sembilan puluh ribu padahal beberapa hari angin cukup deras yang dikuatirkan banyak merusak atau merobek daun pisang. 

Dokpri

Dokpri.

Dokpri

Dokpri

Dokpri

Jam tiga mendung mulai menggelayut dengan panas yang semakin menyengat membuat badan semakin gerah sehingga beberapa petani pria harus mandi di saluran irigasi dengan air yang kecoklatan karena erosi di daerah udik. Keruh dan kotor itu pasti. Jelas bukan air yang sehat. Tapi panasnya badan tak mungkin hanya disegarkan lewat tenggorokan saja atau dibuai dengan semilirnya air. Yang jelas sesampainya di rumah harus mandi lagi. Jika tidak maka sampai malam tak akan bisa tidur.

Dokpri

Hari ini hanya niat jual sayur bayam dapat kiriman daun singkong. Dokpri

Naik sepeda jengki mertua. Dokpri

Dokpri

Kala pesawahan makin sepi, kami berdua pun pulang sambil membawa satu bentel berisi dua puluh lima ikat bayam.

Sampai di rumah istri memasak dan saya menulis kisah segar ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline