Jauh kakinya mengayuh menyusuri setapak pematang tengah hamparan sawah walau mendung tetap menggelayut setelah hujan mendera sepanjang jalan. Peduli amat jalan telah sepi selain gemerciknya parit dan desiran daun padi yang masih hijau.
Bunga di pinggir pematang menghiburnya dengan senyuman terkembang dari putiknya yang mungil, kala ia sekedar membasahi tenggorokannya dengan setetes kesegaran bekalnya. Ia ingin bertanya pada bunga itu, masih adakah pintu terbuka untuk sekedar merebahkan diri menghirup pelan wewangian tanah basah yang selalu dilewatinya.
Ia tertawa pada dirinya kala seekor capung merah hinggap di depannya dan berbisik: tak perlu kau bertanya pada siapa untuk melangkah atau merebah. Berjalanlah bersama angin yang menuntunmu dan membuatmu bahagia. Biarlah mereka menutup pintu untukmu walau di depan mereka bunga mekar menyambutmu.
Ia pun kembali mengayuh menyusuri jalan kehidupan yang masih panjang, seperti capung yang tak bosan menari berirama angin di atas pepadian. Tak peduli lagi di depan sana gelap atau terang, hujan atau sekedar mendung. Ia mengayuh terus menuju ujung kehidupan sekali pun kadang harus merebah di tengah jalannya sendiri. Ia tak pernah merasa sendiri dan sepi sebab ia berkawan sunyi.
Desa Bokor, Tumpang
Sabtu, 7 Maret 2020
16.35
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H