Lihat ke Halaman Asli

Mbah Ukik

TERVERIFIKASI

Jajah desa milang kori.

Ketika Sri Minggat (Pergi Tanpa Pesan)

Diperbarui: 26 Februari 2020   18:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dukuh Karang Jepun pinggiran Desa Bulak. Dokpri

Karang Jepun adalah sebuah pedukuhan di Desa Karang Jati di pinggiran kota Karang Bulak. Dukuh ini dinamakan Karang Jepun karena di pinggir dukuh ada kuburan yang ditanami kebang jepun atau kamboja.  Sedang Desa Karang Jati merupakan hutan jati milik rakyat atau warga. Beda lagi dengan Karang Bulak disebut demikian karena kota ini di daerah berkapur dan kering sehingga banyak lahan kosong berupa ara-ara atau biasa disebut bulak oleh orang desa. 

Karang Bulak artinya kebun kosong tak ditanami selain semak yang tumbuh liar. Seperti halnya pedukuhan lain yang merupakan bagian dari desa, Karang Jepun penghuninya tak lebih dari 20 kepala keluarga atau sekitar delapan puluh jiwa saja dengan aneka mata pencaharian. 

Ada petani, buruh tani, pedagang kecil, pemulung, tukang batu, sopir, kenek, bahkan ada juga dukun dan  pengangguran yang kadang dicurigai sebagai pencuri. Kasihan... Tetapi banyak juga yang boro atau bekerja di luar kota serta jadi TKI di manca negara.

Sekali pun daerah kering ternyata ada juga lelaki yang poligami dan tinggal dalam satu dukuh walau beda rumah. Ada juga yang berstatus duda dan janda padahal mereka masih muda. Soal ganteng dan cantik sih itu relatip.

Secara ekonomi, ada yang pas-pasan, kecukupan, dan ada pula yang kaya. Kehidupan yang majemuk membuat pedukuhan itu tampak begitu rukun dan damai. Kalau ada perselisihan itulah dinamika kehidupan. Adanya sedikit pertengkaran itulah romantika pergaulan. 

Tapi saling senyum dan sapa selalu ada. Memang ada yang pendiam, sedikit sombong, ada yang cuek, ada juga yang suka menggoda dalam arti bergurau, ada yang suka nyemoni alias menyindir, ada yang suka gosip dan membicarakan orang lain. Ada yang pandai berkotbah, ada yang sok pandai (Jawa: kemlenthus atau kemeruh).

Setahun yang lalu, ada pendatang baru dari kota sabrang yang merupakan keluarga kaya. Konon, ia seorang saudagar dan cendikiawan yang ingin mencari sesuatu yang baru daripada kehidupan sebelumnya.

Kehadiran keluarga yang ramah ini, sedikit mengubah wajah kehidupan bermasyarakat Dukuh Karang Jepun karena mereka begitu murah senyum dan supel. Apalagi istri sang penghuni baru ini seorang pegiat sosial yang berhasil memberdayakan kaum wanita untuk mengubah wajah Dukuh Karang Jepun menjadi lebih indah. 

Pekarangan depan rumah yang dulu hanya ada jemuran, kayu bakar, dan tanaman sayuran yang ditanam ala kadarnya kini tertanam aneka bunga dan tanaman obat keluarga atau toga. Jika dulu kaum wanita suka ngerumpi di bawah pohon nangka sambil petan alias cari kutu rambut, sekarang mulai pandai memasak dan merajut. Bahkan bagaimana cara mempercantik diri dengan solah bawa atau  tingkah laku bukan dengan bengesan atau atau bedak.

Agustus kemarin, Dukuh Karang Jepun meraih penghargaan sebagai dukuh berprestasi di Desa Karang Jati karena kegiatan dengan hasil karya nyata berupa dukuh terbersih, terindah, tergiat, dan ter....ter....terbaik lainnya. Bahkan keluarga Pak Bagus mendapat penghargaan sebagai tokoh berpengaruh di desa bukan hanya di pedukuhan tetapi juga Desa Karang Jati. Terutama Bu Sri, istri Pak Bagus mendapat gelar "Penggerak PKK" terbaik.

Gempita sorak gembira pun bergema karena dukuh yang bersebelahan dengan kuburan yang penuh kembang jepun yang sering diidentikkan dengan tempat yang angker, sangar, dan menakutkan apalagi di sana juga ada seseorang yang dianggap dukun. Wiiiih.....

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline