Lihat ke Halaman Asli

Mbah Ukik

TERVERIFIKASI

Jajah desa milang kori.

Puisi | Seikat Mawar Merah di Dadaku

Diperbarui: 28 Januari 2020   13:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi

Sering kita berjalan berdua menyusuri lorong perkampungan kumuh di tengah kota atau trotoar depan pertokoan tanpa peduli riuhnya gerimis dan tetesan tampias air hujan yang membasahi kita.

Kadang kita sepayung berdua sambil kurangkul pundakmu atau pinggangmu serta sedikit malu kulirik engkau yang terus berceloteh apa yang harus kita lakukan di gereja. Aku hanya diam dengan terus melangkah sambil merasakan degup jantungku yang menggelora karena hangatnya perasaan di tengah dinginnya gerimis senja.

Sering kita duduk berdua di bangku gereja di depan altar kala kau harus mendaraskan Mazmur dan aku membaca kalam kudus. Ingin kutatap wajahmu kala itu, namun aku malu dengan teman-teman yang ada di sebelah kita.

Kadang kau bertanya padaku mengapa tak menjemputmu ke gereja. Sebuah pertanyaan yang kadang tak kumengerti artinya. Cintakah kau padaku?

Kadang kubayangkan kau membawa seikat mawar merah berjalan menuju altar bersamaku mengucap janji sehidup semati mengarungi samudra kehidupan berdua seperti Maria dan Yosep menuju Betlehem. 

Bertahun semua berlalu dan ingin kuungkapkan gejolak hati ini, entah mengapa mulutku selalu terkatup. Hingga satu persatu sahabat mudika meninggalkan kita dengan bahtera indah mengarungi hidup.

Masih kuingat kala di depan altar seikat mawar merah di bawah kaki Bunda Maria kuambil dan kuberikan padamu yang kau terima dengan senyum manis yang membuatku tersipu.

Sore itu, sepulang gereja sepayung berdua kita kembali menyusuri jalanan kota yang dibasahi derasnya gerimis senja. Kugandeng dirimu dengan jemari mungilmu yang terasa menghangatkan diriku untuk mengatakan aku mencintaimu.

Di persimpangan jalan itu hujan semakin deras dan kita hanya bisa berdiri di depan selasar toko menunggu reda sambil bercerita tentang desa kita. Cita-cita dan harapanmu hingga akhirnya kau katakan.... Ingin hidup membiara. 

Pyaaar...cipratan kubangan air hujan yang terlindas mobil membuat kita tertawa dan meredakan degup jantungku yang bergejolak mendengar akhir ceritamu.

- - -

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline