Lihat ke Halaman Asli

Mbah Ukik

TERVERIFIKASI

Jajah desa milang kori.

Senyum Manis Seorang Wanita Pemulung

Diperbarui: 17 Januari 2020   22:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi

Waktu masih menunjukkan jam 6.30 pagi ketika saya sudah berada di depan Seminari Tinggi SVD Surya Wacana, Malang. Cuaca pun amat cerah walau masih ada sedikit gumpalan mendung  sisa gerimis yang mengguyur semalaman. Udara yang segar membuat perjalanan gowes yang hanya kurang dari 8km saja tak terasa melelahkan. 

Sambil menunggu waktu untuk bermain bulutangkis bersama dengan para frater (calon imam) yang sedang merayakan HUT seminari tempat mereka menempuh pendidikan sebagai persiapan untuk menjadi seorang misionaris, saya melakukan pemanasan di luar halaman depan.

Kala sedang sedikit menggerak raga, tampak seorang wanita sebaya saya sedang berjalan pelan dengan sedikit tertatih karena beban berat yang harus disunggi di atas kepalanya. Ia tersenyum malu ketika saya menyapa, memotret, lalu sedikit mengajaknya berbincang.

Panggil saja namanya Bu Waton, seorang pemulung di sekitar perumahan kelas menengah dan kelas atas daerah Tidar dan Dieng yang dulu merupakan bentangan sawah dan ladang yang subur. 

Tempat habitat burung cucak ijo dan kalong (sejenis kelelawar besar) pemakan buah karena di daerah tersebut sebagian juga merupakan hutan jambu milik penduduk. 

Sebelum tahun 90an, Bu Waton adalah buruh tani, namun perubahan lingkungan ladang dan sawah menjadi pemukiman turut mengubah nasibnya menjadi seorang pemulung sampah di daerah perumahan tersebut.

Nasib si kecil dalam arti luas memang sulit bersaing dan malah agak tergantung pada lingkungan.Pernah ada keinginan menjadi seorang ART, tetapi bekerja bebas lebih ia sukai sekali pun sehari hanya mendapat tak lebih dari 50 ribu rupiah.

Si Kecil yang tersenyum indah walau tak diperhatikan. Dokumen pribadi

Beban berat di kepalanya bukanlah sebuah penderitaan, katanya, hanya sebuah tanggungjawab yang harus diangkat untuk tetap bertahan hidup di lingkungan yang dulu merupakan surga. 

Lingkungan tempat tinggalnya, Desa Duwet, yang dulu begitu ramah kini menjadi sebuah perkampungan besar di antara perumahan kelas menengah dan kelas atas. 

Dokumen pribadi

Penduduknya pun lebih majemuk yang terpengaruh kehidupan masa kini, kurang saling mengenal dan berkomunikasi secara verbal selain dengan kata-kata di media sosial. Maka ia pun lebih diketahui sebagai seorang pemulung daripada dikenal sebagai seorang pribadi.

Bu Waton hanyalah salah satu dari manusia-manusia tradisional yang tersisih jaman dan keadaan. Seperti kebun-kebun kecil yang hanya penuh semak atau rumpun bambu yang tersisa dan harus pasrah ketika tergusur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline