Seperti biasa setiap minggu pagi, kami berdua gowes ria menyusuri pedesaan di timur Malang, namun karena sabtu ini libur maka gowes kami lakukan pada sabtu pagi. Tujuannya pun beda, kali ini ke arah selatan Malang. Ke sebuah telaga Sumber Sira yang merupakan sumber mata air di wilayah selatan Malang, tepatnya di Desa Putuk Rejo, Gondang Legi. Berdasarkan gogle.map jaraknya sekitar 20,51 km saja dari rumah kami.
Jam 6 pagi kami berangkat dengan menyusuri Kali Amprong yang ada di belakang rumah kami, sebuah sungai yang bermata air dari lereng Gunung Bromo. Sungai yang deras namun menjadi lamban dan keruh ketika memasuki wilayah kota Malang karena bukan hanya dialiri oleh mata air di kiri kanannya tetapi juga masuknya saluran limbah rumah tangga dan sampah lainnya.
Kali Amprong memang masih menjadi saluran pengairan lahan pertanian yang kini telah menyusut menjadi komplek perkampungan dan perumahan kelas menengah. Tetapi bantaran Kali Amprong masih menunjukkan kebersihan dan sedikit keindahan. Tepian bantaran dan Kali Amprong masih menjadi tempat bermain anak-anak yang ingin berenang. Sekali pun airnya boleh dikatakan jauh dari istilah bersih dan sehat. Bahkan beberapa titik di Kali Amprong masih menjadi tempat MCK warga setempat. Seperti yang kami saksikan pagi ini.
Setelah satu jam menyusuri jalan raya yang mulai macet dengan ratusan kendaraan yang akan menuju tempat wisata Pantai Bale Kambang, Pantai Ngliyep, dan pantai-pantai selatan Malang, kami mulai menyusuri pematang sawah sepanjang tak kurang dari 10 km. Di penghujung musim kemarau ini tampaknya belum ada tanda-tanda mendung akan menurunkan hujan. Sehingga sekali pun di tengah sawah suunjuk asana amat gerah dan menyengat. 45 menit menyusuri pematang sawah sungguh pengalaman yang mengasyikkan yang penuh tantangan. Bukan turunan dan tanjakan seperti yang biasa kami lalui tetapi terjebak pada rawa-rawa dan sungai-sungai kecil namun bersih dan jernih di sekitar Sumber Sira. Pematang sawah yang sempit ternyata buntu dan berakhir di tepi telaga sedang untuk kembali ke jalur semula justru akan menjauhkan ke arah tujuan semula.
Apa boleh buat, tak ada jalan lain selain harus turun ke sungai yang menuju telaga dengan mengangkat sepeda. Untungnya lebar sungai hanya sekitar 7 m dengan kedalaman antara 20-90cm saja. Karuan saja kejadian ini menjadi perhatian dan senyuman para petani dan pengunjung yang sedang mengajak keluarganya menikmati hijau, segar, dan indahnya Telaga Sumber Sira yang membentang biru. Begitu sampai di seberang ternyata pematang kembali buntu dan harus melewati titian bambu yang sempit. Sepeda pun harus kami angkat lagi.
Setelah menyeberangi titian bambu, kami istirahat di sebuah dangau dan berbincang dengan dua keluarga sederhana yang sedang menikmati kebahagiaan bersama dengan mencuci pakaian, bersendau gurau, mandi, dan berenang bersama di telaga yang biru jernih dengan hijauanya tanaman kangkung dan genjer di sisi-sisinya. Kicauan burung cendet, kutilang, prenjak, serta suara penunggu sawah yang menghalau pipit juga senda gurau anak-anak yang bermain dan berenang di sungai menjadi nyanyian merdu alam ini. Suasana yang segar, tenang dan damai jauh dari keriuhan dan hiruk pikuk kehidupan karena jauh dari pemukiman sehingga tak ada polusi udara dan air.
Mas Ngaturi, sebut saja demikian, sedang mandi dan bermain bersama istri dengan dua anak putra-putri mereka yang masih balita dan satunya masih berumur 8 tahun. Jerit tangis manja si putri karena kedinginan dan takut tenggelam serta siraman air dari kakaknya menjadi paduan suara yang menarik kala ke dua orangtuanya terkekeh menggoda.
Di sebuah badukan tepi telaga, Mbak Sri adik Mas Ngaturi hanya tersenyum melihat semua ini. Suasana demikian ceria dan bahagia.
Melihat si putri yang kedinginan, Mas Ngaturi pun mengajaknya berganti pakaian di dangau. Sedang istrinya tetap mandi dan keramas serta menikmati segar dan indahnya telaga yang indah ini. Di dangau, Mas Jarot duduk menikmati keindahan alam sambil menunggu Mbak Sri, istrinya menyelesaikan cuciannya dengan mata selalu mengawasi putrinya yang mandi dan bermain di tepi telaga.
Ketika dilihatnya, cucian Mbak Sri sudah selesai, istri Mas Ngaturi pun ke tepian telaga untuk membantu menjemur pakaian.
Sekitar 10m dari dangau, seorang petani sayur, sebut saja namanya Pak Darsono sedang memanen sayur kangkung air di rawa telaga Sumber Sira. Hari ini, beliau berhasil memanen tiga karung glangsi kangkung seharga dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah. Atau per karung dengan 75 ikat laku seharga 75.000 rupiah. Lahannya seluas satu are sekali panen setiap lima belas hari sekali bisa menghasilkan sekitar dua juta rupiah. Namun, panen ini hanya bisa dinikmati dengan baik saat musim kemarau. Jika musim hujan, air melimpah ruah justru membuat banjir atau setidaknya malah menenggelamkan tanaman sayur kangkung sehingga gagal panen. Hal yang disyukuri oleh P. Darsono adalah menanam kangkung tak perlu pupuk dan pestisida, selain harus teliti apakah ada siput yang melahap tanamannya.