Hal yang tak mungkin lagi akan kulakukan jika ada pesan sponsor dari pejabat ketika memberi sambutan atau semacam renungan pada acara desa adalah masalah rokok.
Sekali pun saya bukan perokok dan agak anti rokok saya tak akan melarang orang lain untuk tidak merokok. Kecuali pada kerabat sanak saudara. Jika toh ada tamu perokok ke rumah kupersilakan bincang-bincang di luar rumah saja.
Di rumah memang selalu tersedia dua slop rokok klembak yaitu rokok dengan campuran sedikit kemenyan yang menebarkan aroma khas serta rokok klobot yang dilinting dengan daun buah (bukan batang) jagung.
Rokok itu hanya saya gunakan untuk ritual khusus agar lebih sakral atau seseorang (dukun dan para normal) meminta. Rokok klobot masih mudah didapat namun rokok klembak hanya bisa dibeli di daerah Jogja dan Kebumen.
Mengapa saya enggan berkampanye untuk tidak merokok?
Tiga tahun lalu, menjelang pembukaan pagelaran wayang kulit di sebuah kecamatan saya diminta memberi sambutan dengan menyinggung bahaya merokok padahal acara tersebut disponsori oleh sebuah perusahaan rokok tingkat nasional.
Dan, di meja tamu VIP juga disediakan rokok perusahaan tersebut. Ditambah lagi di kiri kanan panggung terpasang spanduk agar tidak membeli rokok illegal yang merugikan pendapatan negara hampir 1 trilyun per tahun.
Seorang tokoh agama dan pejabat yang akan memimpin doa rupanya juga mendapat pesan sponsor untuk sedikit menyinggung tentang bahaya rokok dan hasil cukai rokok. Inti sang tokoh ini berpesan 'kalo merokok tahu tempat, waktu, ukuran, dan kebutuhan lain.
Jangan seperti kereta api yang terus mengepul tapi kebutuhan keluarga dan pekerjaan terlupakan. Jangan lupa kalau beli rokok jangan yang tak bercukai. Merokok memang bisa menurunkan kesehatan tapi tak akan membuat kalian mati kok...'
Jelas kedua sambutan ini saling bertolak belakang dan membenturkan.
Rokok dalam kehidupan masyarakat.