Ada tiga hal yang bisa menjerumuskan manusia dalam dosa dan kenestapaan. Pertama harta atau kekayaan. Kedua pangkat atau jabatan.
Ketiga seksual, ada yang menyebutnya wanita. Jelas saya tidak setuju karena merendahkan wanita. Sebab kejahatan seksual bisa saja dilakukan oleh seorang pria terhadap pria lain karena faktor penyimpangan.
Selama kejahatan dilakukan secara bebas tanpa tekanan dan atas kemauan sendiri dan tahu bahwa itu adalah melanggar norma hukum, moral, dan etika maka pelaku bisa disebut sebagai seorang penjahat dan bisa dituntut secara hukum.
Bahwa dalam hal tertentu bisa diselesaikan secara kekeluargaan itu masalah lain. Tetapi bagaimana pun juga harus adil tanpa melihat siapa yang berbuat. Adalah pengingkaran hukum keadilan jika karena jabatan dan uang atau harta seseorang harus disingkirkan atau dibuang.
Sama seperti pada jaman Yunani, di mana penderita kusta dianggap sebagai orang berdosa yang dikutuk Tuhan, maka harus hidup di luar wilayah tempat tinggal penduduk alias di luar gerbang perbatasan kota. Tanpa perhatian dan pertolongan sama sekali kecuali memberi makan seperlunya dan akan menyebabkan kematian perlahan secara mengenaskan.
Di sisi lain pelanggar seksual dilindungi dan diselesaikan atas nama kekeluargaan atau pertimbangan tertentu untuk mengurangi dan mencegah gejolak.
Menciptakan keadilan seperti menebaskan pedang bermata dua dengan mata tertutup. Beranikah kita melakukan dengan mata terbuka?
Tak peduli siapa yang harus kita tebas.
Kasus di atas sering terjadi di kehidupan kita dengan motif berbeda. Hanya saja kasus korupsi yang tampak merajalela. Selanjutnya kasus perebutan pengaruh demi sebuah jabatan dan kekuasaan.
Pernyataan-pernyataan melecehkan kelompok lain yang berseberangan atau pimpinan negara sering kita dengar tanpa tindakan jelas alias ngambang. Masyarakat yang gelisah akhirnya membuat keputusan sendiri untuk menjatuhkan hukuman secara lesan yang tak membawa penyelesaian karena para pelaku memang sudah beku nuraninya. Justru masyarakat terpecah.
Kasus atau masalah kejahatan seksual jarang terjadi atau memang tak muncul dipermukaan karena korban dan keluarga malu. Bahkan bisa menjadi korban kedua, ketiga, dan seterusnya karena budaya kita masih menganggap dan mendudukkan wanita posisi yang lemah.