mengapa bunga ini kan kuberikan padanya
padahal kau begitu terpesona dengan warnanya.
Kau pun semakin terus menatap
dan ingin memetiknya walau aku tak memedulikan
senyum manismu yang menggoda.
Kala kuraih tanganmu tuk berjalan
menuju dangau kau memaksa memetiknya dan
tak lama bunga itu layu
walau kabut masih menyelimuti kita.
Aku cuma tersenyum saat tetes air mata
beriringan dengan air gerimis
yang turun di pelupukmu.
Gerimis semakin deras dalam
dinginnya lembah. Dan terus menetes
berbaur dengan gerimis air mata di pipi.
Tak ada lagi kehangatan dalam diri
kita sekalipun sepelana kuda menyusuri
tepian telaga kembali ke rumah.
Kau kembali diam terkatup saat kutunjukkan
setangkai anggrek bulan putih
menjelang layu
karena kepergianmu.
Tak mungkin anggrek ini akan segar
kembali seperti wajahmu yang lelah
mengejar murai di ngarai.
Petiklah anggrek ini.
Aku sudah menanam dahlia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H