Sekitar jam 7 pagi, di alun-alun pusat Malang, seorang lelaki senja sedang senam ringan dengan wajah sedikit lesu sekali pun cuaca amat cerah. Lebih kurang 30 menit ia senam tanpa mempedulikan sekitarnya. Terpenting ia bisa melalukan gerakan untuk memperoleh kembali kesehatan dan kebugarannya setelah sekian lama menderita penyakit akibat gaya dan pola hidup yang kurang tepat.
Bukan kemauannya untuk hidup kurang sehat, tetapi kesibukannya sebagai seorang pengusaha sebuah toko di salah satu plaza yang tak jauh dari alun-alun menyebabkan ia hampir tak ada kesempatan untuk sedikit berolahraga.
Ia bukan perokok. Tapi makanan yang cukup berlimpah kalori dan gizi dengan hanya duduk di kursi menyebabkan lemak menumpuk di tubuhnya dan ia harus menanggung akibatnya. Masa tua yang harus dinikmati dengan istirahat kini harus dinikmati dengan keadaan di luar kemauannya.
Tak lebih dari lima puluh meter dari tempat ia senam, seorang lelaki senja mengayuh becak dengan sekuat tenaga. Cukup kuat dan cepat disbanding usianya. Cerahnya matahari pagi dan dorongan ingin mendapat sesuap nasi untuk mengisi perut dengan usahanya sendiri membuat dia bersemangat.
Di depan sebuah mall depan alun-alun ia menurunkan penumpangnya. Selembar sepuluhribuan diterimanya dengan sebuah senyuman penuh rasa syukur lalu dikipas-kipaskan di tubuhnya yang gerah karena panas dari dalam tubuh.
Di depan sekolah tempatku mengajar, seorang lelaki senja sebagai tukang becak istirahat di atas tempat duduk becaknya sambil membaca surat kabar harian.
"Ngaso (istirahat) ....Pak Guru," balasnya padaku saat aku menyapa "Waduuh....enake sing wis sarapan." Yang artinya: waduh...enaknya yang sudah sarapan. Sebut saja namanya Pak Pardi, seorang pengayuh becak pengantar salah satu murid kami yang rumah sekitar 400m saja dari sekolah.
Seratu meter dari sekolah, di depan Pasar Klojen seorang lelaki senja sedang menarik dengan pelan gerobak yang memuat kombong atau kandang ayam dan sebuah ondo atau tangga bambu. Di depan pasar ia berhenti sambil berharap aka nada yang membelinya.
"Pak...kok sadeyan ten kutha. Hla wong tiyang kutha sampun jarang ingkang ngingu ayam merga mboten wonten panggonan," sebuah pernyataan kulontarkan setelah sekian menit berbincang. Artinya: Pak, kok berjualan di kota. Kan orang kota jarang yang memelihara ayam karena tak ada tempat?
"Rejeki niku kersaning Gusti. Kita makarya madosi pesthi. Menawi diparingi rejeki nggih pajeng mawon." Rejeki itu pemberian Tuhan. Kita bekerja mencari kehendaknya. Jika diberi Tuhan, ya tentu laku terjual. Kata penjual tersebut sesuai dengan pandangan orang Jawa dalam mencari rejeki.
Sekitar 2km dari sekolah tempatku mengajar di unit lain, seorang lelaki senja yang bekerja sebagai buruh tani sedang mencabut bibit padi yang akan ditanam. Beliau adalah Pak Gumiyar dari Desa Pendem. Di usianya yang mendekati 75 tahun, tampak guratan-guratan di wajahnya