Teringat masih kecil di tahun 70an, sering berburu capung di sawah kala menjelang musim kemarau. Di mana capung begitu banyak menari-nari di atas sawah yang menghijau atau padi yang menguning.
Dengan berbekal sebatang lidi yang diayunkan untuk memukul capung yang sedang terbang. Agak kejam juga. Tapi itulah mainan kami anak-anak desa setelah lelah mencari rumput untuk makan ternak atau mencari kayu bakar untuk emak memasak atau mencari belut atau memancing lele dan wader di sungai batas desa. Semua dilakukan dengan penuh keceriaan bersama.
Kadang kami menangkap capung dengan ujung lidi yang diberi perekat dari getah nangka, karet, atau jarak. Capung yang tertangkap lalu dilepas kembali dengan cara terbang yang aneh karena sayapnya telah rusak terpukul lidi atau kena getah. Itu masa lalu. Sekarang sudah jarang terlihat anak-anak bermain seperti ini.
Siang ini saat istirahat, di depan kantor kulihat seekor kotrik merah atau capung jenis kecil sedang menari-nari di atas kolam yang penuh teratai ungu mengingatkan pada masa lalu.
Tariannya yang lincah menggodaku untuk memburunya. Bukan dengan lidi dan getah seperti pada saat aku masih kecil. Tetapi berburu dengan smartphone. Sedikit kuabaikan tapi bukan berarti tak peduli rekan guru yang sedang istirahat dan para siswa yang beranjak pulang karena sekarang hari sabtu.
Capung merah ini boleh dikatakan tak pernah kujumpai di halaman sekolah selama 20 tahun ini. Mungkin ia terbawa angin dari pesawahan yang ada satu kilometer di barat sekolah kami.
Kehadiran saya rupanya mengganggu waktu istirahat capung yang sedang hinggap di pucuk kuncup teratai. Ia pun terbang. Aku pun mengejar. Saat hinggap pun lalu jepret-jepret. Gocha! Kena deh. Hobi terpuaskan. Masa lalu indah terkenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H