Pada masa lalu, Malang sebagai bagian Kerajaan Kadhiri memang memberi kenangan indah pada masa kini. Sebuah kenangan dalam salah satu bagian budaya yakni seni tari, terutama tari topeng yang menceritakan kisah-kisah panji atau kehidupan (asmara) Panji Asmoro Bangun dan Dewi Sekartaji.
Kesenian tari topeng di Malang, dengan berbagai versi namun tidak meninggalkan pakem menyebar hampir di seluruh pelosok wilayah Kabupaten Malang. Sebut saja Desa Kedung Monggo (Pakisaji) dengan Padepokan Asmoro Bangun yang didirikan oleh Alm. Mbah Karimun yang kini dipandhegani oleh Mas Handoyo, serta Desa Tulus Besar (Tumpang) dengan Padepokan Mangun Darmo yang dipandegani oleh Ki Sholeh Adi Pramono. Bukan hanya di dua desa tersebut tari topeng bertahan dan berkembang, namun juga ada di desa-desa lain seperti: Precet, Karanganyar, Jabung, Kemantren, Gunung Ronggo, Tulus Ayu, Malangsuko, Duwet, Wonosari, Gunung Kawi, Wagir, Jedong, dan masih banyak lagi.
Untuk wilayah kota Malang, ada beberapa sanggar tari yang dikelola oleh mereka yang tertarik untuk mempertahankan dan mengembangkannya sebut saja Sanggar Sri Hardina dan Sena Putra yang kini menuju keruntuhan. Namun memang harus diakui mengelola sebuah sanggar bukanlah hal yang mudah apalagi menyangkut dana yang harus ditopang sendiri.
Seni tari tradisional, sebagai bagian dan merupakan awal kebudayaan nasional sering kurang mendapat tanggapan sepantasnya oleh sebagian masyarakat dengan berbagai alasan. Padahal dalam seni tradisional, bukan hanya seni gerak tubuh yang ditampilkan (tontonan) namun juga nilai-nilai moral dan etika kehidupan yang dikenalkan (tuntunan).
Menghadapi glamornya pertunjukan seni populer masa kini yang hanya menampilan kemeriahan dengan topeng-topeng kepalsuan peserta, juri, dan penonton yang sedih bahkan menangis, seorang Dwi Cahyono terpanggil untuk menunjukkan dan menampilkan sebuah festival tari topeng secara luar biasa.
Dwi Cahyono adalah seorang dosen di UM, pemerhati, pengamat, peneliti, dan pengembang tari topeng Nusantara yang juga memiliki Museum Panji di Desa Slamet Kabupaten Malang.
Minggu, 28 Oktober 2018 di Museum Panji, atas inisiatifnya diadakan International Mask Festival 3. Disebut internasional karena yang ditampilkan bukan hanya topeng-topeng dan penari dari Nusantara yang diwakili oleh peserta dari Bandung, Jogja, Solo, dan Pati namun dari Asean, serta dari Eropa. Lihat poster bawah.
Seperti biasa, pembukaan diawali dengan Tari Bapang acara dilanjutkan dengan penyalaan abor di panggung atas oleh Mas Dwi Cahyono dan para pandega sanggar yang ikut terlibat. Penampilan para setiap peserta yang demikian luar biasa dibarengi dengan pencahayaan yang mumpuni membuat pertunjukan kali ini berbeda dengan festival pertama dan kedua.
Setelah penampilan peserta dari tiap sanggar dan perguruan tinggi serta peserta dari manca negara secara bergantian selanjutnya ditutup dengan penampilan utama Sendratari Minabaya yang melibatkan sekitar 35 penari.
Seperti tari-tari sebelumnya, para penari bukan hanya menari di panggung tetapi juga menari di kolam seluas 6 x 20m dengan kedalaman sekitar 60cm. Inilah yang menjadi pembeda dengan kebanyakan pertunjukan tari yang biasa ditonton. Luar biasa! Spektakuler.
Catatan: