Caping adalah topi atau penutup kepala yang terbuat dari silatan ( potongan irisan tipis ruas bambu ). Biasanya terbuat dari silatan bambu apus dan bambu jawa yang mempunyai sifat halus, tipis, dan panjang ruasnya teratur, serta ringan.
Bentuk caping melebar dengan lingkaran antara 40 -- 60 cm serta ujungnya ada yang runcing dan tumpul. Tergantung suka-suka pembuatnya.
Caping biasanya dipakai para petani saat bekerja di sawah. Entah pada saat mengolah tanah, menebar bibit, menanam, menyiangi, maupun saat panen. Tidak menutup kemungkinan digunakan juga saat mencari kayu bakar, rumput, atau jamur di pinggir hutan. Tujuan untuk melindungi kepala dari serangan atau gangguan hewan liar yang banyak terdapat di ladang dan hutan. Seperti lebah dan ular, saat mereka merasa terusik kehadiran para petani.
Pada masa kini, kalau kita menyusuri sawah, pemakai caping kebanyakan adalah para petani wanita. Alasan adalah untuk melindungi wajah agar tidak lebam tersengat matahari di suasana sejuknya persawahan yang segar.
Hingga pertengahan tahun 80an, penulis masih melihat banyak penarik becak dan tenaga kasar di daerah urban pinggiran Surabaya dan Malang yang memakai caping. Namun kini, kebanyakan mereka menggunakan topi masa kini. Demikian juga para petani pria juga jarang menggunakan caping atau topi bambu. Bukan karena sulit didapat, tetapi alasan praktis saja. Selain topi masa kini yang terbuat dari kain lebih ringan juga tidak mudah diterpa angin kala pergi sawah dengan naik sepeda motor atau sepeda kayuh.
Kegunaan caping yang demikian besar bagi petani, menjadi perhatian khusus Ki Narto Sabdo seorang dalang, seniman, dan budayawan Jawa dengan menggubah sebuah lagu campursari dengan judul Caping. Dengan syair seperti di bawah ini:
Caping
Caping.... caping..... caping... capinge
Pancen nyata si caping paedahe
Para tani makarya ing tengah sawah
Nggaru, ngluku, macul, sarta tandur