Beban tugas di lapangan yang menuntut konsentrasi tinggi dan cuaca luar biasa di mana curah hujan sangat tinggi tiga bulan terakhir cukup menguras pikiran dan tenaga penulis. Sehingga saat harus mengikuti rapat kerja tahunan, justru kesehatan menurun cukup drastis. Penyakit selesma dengan serangan flu, pilek, batuk, tenggorokan gatal diiringi rasa meriang membuat badan semakin loyo.
Obat yang paling mujarab sebenarnya: istirahat dan mengurangi kegiatan, serta menyantap makanan bergizi. Namun untuk mempercepat kesembuhan adalah minum obat atau jamu.
Minum obat untuk penyakit semacam ini biasanya membawa efek mengantuk dan gangguan psikomotor sehingga semakin mengurangi kinerja kita. Maka minum jamu menjadi pilihan. Masalahnya mendapatkan jamu pada masa kini bukanlah hal yang muda.
Apalagi di wilayah perkotaan. Kecuali kita mau meracik sendiri dengan mengolah bumbu-bumbu masakan yang ada di dapur seperti jae, kunyit, bawang putih, bawang merah, daun salam, dan daun seledri. Hanya saja masih tersediakah di dapur dan apakah kita tahu manfaat sebenarnya.
Beruntung, di tempat kerja penulis yang luasnya lebih dari 7ha, banyak tanaman perdu yang sengaja ditanam maupun tumbuh liar namun bermanfaat dijadikan jamu herbal. Misalnya parijoto dan pecut kuda.
Berhubung penulis saat ini sedang selesma, maka membahas tanaman pecut kuda yang dalam bahasa ilmiahnya disebut sebagai stachytarpheta jamaicencis.
Tanaman ini mengandung alkaloid fanglikosa yang dapat menyembuhkan amandel, radang tenggorokan, batuk, dan hepatitis A. Selain itu dapat juga mengobati infeksi saluran kencing, haid tak teratur, keputihan, dan rematik.*
Hampir seluruh bagian tanaman ini dapat dijadikan jamu, namun paling banyak digunakan adalah daun dan batangnya.
Cara pengolahannya pun sederhana. Petik segenggam daun dan batangnya, cuci, lalu masukkan ke dalam air yang mendidih selama kurang lebih 2 menit saja.
Ingat jangan memasak bersamaan dengan air apalagi lebih dari 3 menit, sebab akan merusak kandungannya.