Minggu, 21 Mei 2017 jarum jam menunjukkan sekitar angka 7.30, namun langit begitu cerah menaungi hamparan sawah yang membentang luas menguning. Padahal, biasanya mendung selalu menggelayut, bahkan kadang gerimis. Awan putih semburat tipis dan lembut seakan menunjukkan bahwa musim hujan telah usai menuju musim kemarau. Semilir angin mengembus lembut mengajak bulir-bulir padi menari bersama burung layang-layang yang mencari makan dari serangga yang melompat-lompat dari batang padi yang akan dipetik para petani.
Irama gesekan daun kelapa, rumpun bambu, dan celoteh puluhan bebek yang mencari cacing di pesawahan yang telah dipanen serta siulan kutilang dan prenjak ditambah gemerciknya air yang deras di parit bagaikan irama pop sweet yang melenakan hati. Demikian juga suara empasan batang-batang padi yang ditempakan pada rangkaian kayu untuk merontokkan padi dan celoteh guyonan para petani yang tak jemu menciptakan sebuah kebahagiaan dan kesejahteraan.
Di hamparan sawah tepat pinggir jalan, beberapa orang mulai dari ayah, ibu, anak, menantu, dan cucu tampak sedang sibuk memanen padi di lahannya yang tak begitu luas. Namun, mereka tampak begitu ceria dan bahagia. Hujan yang selama setahun tak pernah berhenti namun tak terlalu deras memberi hasil panen yang cukup melimpah.
Tepat di depan lahan dan rumahnya, terhampar sawah yang telah dipanen. Seorang pria paruh baya sedang menggembalakan seratusan bebeknya untuk mencari makan. Sudah beberapa minggu, Pak Jarwo, sebut saja namanya demikian, ia tak menggembalakan bebeknya karena banyak sawah yang masih belum di panen. Sekarang, Pak Jarwo harus menggembalakan bebeknya cukup jauh karena banyak sawah dan paritnya yang terkena polusi akibat terkontaminasi pembasmi hama tanaman sayuran yang membentang di sekitarnya. Bebek-bebeknya cukup sensitif terhadap rasa air yang mengandung pupuk dan pestisida sehingga tak mau menyosor di sawah tersebut.
Di sepetak sawah sisi barat jalan raya, tampak seorang ibu, bahkan nenek, tampak sedang mengolah sawahnya dengan melempaknya sendiri. Badannya yang tak terlalu besar namun ternyata memiliki tenaga yang cukup kuat untuk menggarap lahan seluas kurang lebih 300 m selama 4 hari.
"Saged mawon kula ngengken tiyang utawi mburuhaken. Nanging tinimbang nganggur ten griya langkung sae tandang gawe. Kersane awak tetep sehat. (Bisa saja saya menyuruh orang lain atau membayar orang lain. Tapi daripada menganggur di rumah lebih baik bekerja. Supaya badan tetap sehat)," demikian alasan Bu Sirpa yang telah menjanda ini.
Demikian juga dengan Mbok Sarpi dan Mbah Giyem, tampak asyik memetik sawi di lahan Wak Haji Komad. Dalam sehari, mulai dari pukul 6 pagi hingga 11 siang mereka berdua mendapat bayaran sebesar Rp 40.000,- dan kiriman bekal pada pukul 9 pagi. Sebagai buruh tani, mereka berdua merupakan bagian dari kehidupan petani yang amat bergantung pada lahan yang membentang subur di daerah tersebut.
Agak ke timur, beberapa pria muda dan paruh baya juga tampak dalam kegembiraan sedang memanen padi yang cukup melimpah. Empat orang menyabit dan mengusung batang padi untuk digeblok atau merontokkan padi dengan cara menempakan pada rangkaian kayu. Dua orang memasukkan gabah pada karung dan mengusungnya ke mobil pick up ke tepi jalan untuk dibawa ke rumah secara bergantian.
Tak jauh dari mereka bekerja, enam orang wanita tua sedang duduk di pematang. Mereka bukan bagian dari pemanen padi, tetapi kaum wanita yang mau 'ngasak' atau mencari sisa padi yang tercecer saat dipetik atau diusung.
"Biasanipun nggih mburuh, nanging sakniki mboten dikengken. Kalih Pak Tomo pantunipun dipanen keluarga piyambak. Hla tinimbang thenguk-thenguk ten griya, mbok menawi ten mriki mangke dikengken derep, menawi mboten nggih ngasak mawon.... (Biasanya yang menjadi buruh, tapi sekarang tidak disuruh. Oleh Pak Tomo padinya akan dipanen oleh keluarga sendiri. Hla daripada santai di rumah, barangkali ke sini diminta membantu memetik padi, jika tidak ya mencari bulir-bulir pada yang tercecer saja....)” demikian ujar salah satu di antara mereka, yang sehari jika beruntung bisa memperoleh lima atau enam genggam padi basah. Jika sudah kering dan ditumbuk akan menjadi beras tak lebih dari 0,4 kg saja.
Itulah suasana persawahan di perbatasan kota dan Kabupaten Malang di sebelah timur. Tepatnya antara Desa Madyopuro, Cemoro Kandang, Temboro, dan Kedung Rejo yang tepat berada di sisi kanan dan kiri jalan menuju Tumpang 12 km arah timur Malang. Sebuah bentangan sawah yang luas dan subur.