Pada masyarakat Jawa, dikenal budaya pekewuh, yakni perasaan enggan untuk menyampaikan sebuah pesan dan kritikan secara terus terang dan terbuka. Perasaan ini muncul karena menyadari bahwa mereka masih mempunyai kekurangan dalam tindakan positif sehingga merasa kurang pantas untuk mengkritik orang lain yang bisa membuat orang lain kecewa dan mungkin malah sakit hati. Apalagi kritikan kepada orang yang disayangi dan dihormati, seperti: sahabat, pemimpin, tokoh masyarakat, dan mungkin juga terhadap keluarganya.
Untuk itu dalam menyampaikan pesan dan kritikan, biasanya tidak secara langsung tetapi lewat sebuah pantun atau parikan dalam budaya Jawa yang diungkapkan secara verbal maupun dalam sebuah tetembangan atau nyanyian. Ini dirasa cukup santun dan mengena tanpa mengurangi rasa hormat dan sayang kepada yang dikritik. Dalam budaya Jawa, disebut nyemoni atau menyindir secara halus. Dan, juga lebih bagus daripada ‘ngrasani’ yang artinya membicarakan keburukan, kekurangan, dan kesalahan orang lain ketika yang dimaksud tidak ada di dekatnya, sehingga pribadi yang dibicarakan tidak bisa mengubah sikap malah bisa membuat kecewa saat menyadari jadi bahan pembicaraan.
Pada awal tahun 70an hingga awal 80an, beberapa grup band, seperti Koes Plus, The Favorite, No Koes, dan penyanyi tunggal, serta pencipta lagu menggubah dan menyanyikan lagu pop daerah (Jawa) dan langgam yang menyampaikan pesan positif kepada masyarakat yang syairnya berpantun jenaka. Misalnya dalam lagu-lagu di bawah ini.
Konthal kanthil
Pak Demang klambi abang yen disuduk manthuk-manthuk
Sing jujur lan temenan wong lestari kang kepethuk
Pak Kromo dodol soto yen ra payu gela gelo
Sing elek lan sing bodho kabeh padha duwe jodho
Kebo Ijo Singosari
Ja maido nggegirisi
Pak Bejo menek klapa nek tiba dadi Janaka