Sejak mereda dari letusan pada akhir 2010, Gunung Bromo boleh dikatakan tak pernah lagi diam. Selalu menggeliat mempesona siapa pun yang melihatnya. Geliat asap putih yang mengalir lembut dari kepundan bagaikan gerakan penari Tayub yang cantik, semampai, namun halus dalam menghibur masyarakat Suku Tengger dalam sebuah pesta rakyat. Bromo memang penari cantik dan lemah gemulai namun selalu rancak dalam ngigel mengikuti irama karawitan dan tetembangan sesuai permintaan para tamu. Gemulai.
Siulan lembut dari tarian pucuk-pucuk pinus dan goyangan ilalang di Gunung Widodaren dan Watangan bagaikan irama gamelan yang mengiringi panembrama tetambangan puja bhakti para gadis cantik di Vihara Paramitha di sebuah desa di selatan Bromo. Itulah gambaran Gunung Bromo saat diam tak bergerak mengepulkan asap dari kepundan selain awan putih yang melintas di atas puncaknya dari perbukitan sekitarnya.
Langit nan biru dan awan putih bagaikan selimut kasih seorang putri cantik dari Suku Tengger yang sedang tidur seperti yang tampak pada warna pasir keperakan atau kekuningan di sekitar puncak Bromo. Cantik.
Bromo bukanlah sekedar wanita cantik. Kala bergemuruh dan menyemburkan asap putih kelabu yang kadang melemparkan lumpur panas atau batu pijar seakan menggambarkan dhadhungawuk (kuda warna putih kelabu) yang sedang menari dengan iringan kendang dan slompret dalam seni Jaran Kencak. Atau seperti juga tarian Jaran Kepang (Kuda Lumping) yang dibawakan para lelaki dengan gerakan yang rancak mempesona. Sebuah seni tradisonal masyarakat Suku Tengger. Rancak.
Saat Bromo terus menggemuruh dan menggelegar bukanlah suara Sang Brama yang sedang marah pada warga karena sesaji tanpa dupa. Namun Bromo sedang menunjukkan kekuatannya dalam sebuah permainan yang membuat orang sedikit takut namun justru datang untuk melihatnya. Seperti dalam seni Bantengan yang banyak dilakukan para pemuda Bromo saat ada upacara tradisional di desanya.
Sebuah tarian yang menggambarkan kegagahan pemuda dalam menaklukkan binatang liar. Gerakannya yang kadang liar dengan tetabuhan kendang dan jidor serta alunan dupa sesaji semakin menunjukkan betapa Bromo pun kadang bisa kalap. Kalap seperti banteng ketaton (banteng terluka) yang membuat sebagian yang melihat agak takut namun tak kuasa meninggalkan. Gagah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H