Bagi manusia jadul yang hidupnya di desa dan dekat dengan pabrik gula, tentu ingat dengan kereta api mini yang hanya untuk mengangkut tebu dari kebun (rakyat) untuk dibawa ke pabrik gula. Di desa tempat tinggal saya dulu ( sekarang menjadi Perumahan Soekarno Hatta ) juga dilewati rel lori, yang kebetulan hanya berjarak sekitar tujuh puluh lima meteran di belakang rumah. Jika musim panen tebu tiba, setiap pagi antara jam 7 – 9 selalu melintas lori dari pabrik menuju kebun dengan keretanya sebanyak kurang lebih 20 – 35 buah. Baik yang ditarik oleh loko dengan mesin yang digerakkan oleh uap maupun diesel.
Pada tengah malam hingga dini hari sekitar jam 1 – 3 yang melintas lori dengan tebu dari kebun menuju Pabrik Gula Kebon Agung Malang. Alasan, mengangkut tebu malam hari untuk menghindari kemacetan dan paling utama pencurian tebu oleh warga yang dilintasi lori dan sering terjadi kecelakaan yang menyebabkan kaki terlindas dan kematian. Teman penulis sendiri yang tewas terlindas antara tahun 1966 – 1967 ada tiga orang. Sedih sekali, mereka masih kelas 3 dan 4 SD. Dan yang patah atau kehilangan satu kaki ada 6 orang.
Pada tahun 1975, pengangkutan tebu dari kebun di desa kami ke pabrik mulai menggunakan praoto. Namun, sejak awal 90an kebun tebu di sana mulai habis dijadikan perumahan. Sedang perumahan sender dan waker atau pegawai pabrik tebu sendiri baru dihancurkan sekitar setahun yang lalu. Entah untuk apa.
Sekalipun di desa kami sudah tak ada lori, namun lori masih digunakan Pabrik Gula Kebon Agung untuk mengambil tebu di sekitar Pakisaji dan Bumiayu hingga pertengahan 90an. Perkembangan transportasi yang semakin pesat dan lori semakin tua dan lambat maka tak dipakai lagi.
Kenangan ‘nggandhol lori’ dan mencuri tebu masa kecil kadang membangkitkan rasa ingin tahu dan menceritakan kembali kepada para yunior.
Dua tahun yang lalu, sebuah kafe dari rumah menempatkan tiga loko lori yang pernah kulihat 45 tahun yang lalu. Mungkin ini untuk menarik konsumen atau memang menjadi koleksi langka sekalipun mahal. Selain itu, dipajang juga sebuah cikar atau kereta sapi yang sekitar 20 tahun yang lalu masih banyak di sekitar kafe tersebut untuk mengangkut dan menjual batu merah. Karena. Desa Madyopuro kini menjadi kota satelit dengan puluhan komplek perumahan, dokar dan cikar sudah tak ada lagi. Bahkan sepeda pancal atau onthel dan becak pun makin surut.
Maka, pemajangan lori buatan Jerman yang mungkin pabriknya saja sudah hancur menjadi amat menarik. Setidaknya bagi saya yang pernah nggandhol lori untuk berangkat sekolah dan nyolong tebu.
* Semua foto dokumen pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H