Lihat ke Halaman Asli

Mbah Ukik

TERVERIFIKASI

Jajah desa milang kori.

Anak Punk: Kami Manusia Normal yang Beda Gaya Hidup

Diperbarui: 27 Januari 2016   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kadang bahkan mungkin kita sering melihat kaum muda jalanan bergaya punk dengan pakaian kumal mengamen di sekitar lampu merah. Macetnya jalanan dan gerahnya cuaca semakin membuat sepet mata melihat mereka mengamen dengan lagu asal-asalan. Kalau toh ada yang memberi sekeping rupiah bukanlah karena ingin bederma tetapi berharap agar mereka segera jauh dari pandangan.
Pandangan Miring Tentang Kaum Punk.

Banyak pandangan miring tentang mereka. Ada yang menyebut kaum pemaham seks bebas, kaum LGBT, pemalas yang hanya suka hura-hura, korban masalah pecahnya keluarga, dan aneka pandangan miring lainnya. Terlalu sulit untuk mengetahui siapa mereka tanpa terjun langsung dan bila perlu mengikuti pergaulan mereka daripada sekedar menduga-duga. Kesalahan menduga tampak jelas saat ada yang menganggap bahwa setiap anak (muda) jalanan adalah kaum punk.

Penulis sendiri pernah terjun langsung dengan tinggal di antara mereka selama tiga hari di sebuah komunitas ini di Jakarta yang saat itu akan mengembangkan sayapnya di beberapa kota Jawa Tengah dan Jawa Timur. Memang waktu yang tak terlalu lama untuk mengetahui dan mengenal mereka secara mendalam. Namun setidaknya bisa diketahui titik terang tentang mereka dan membedakan anak muda jalanan dengan Kaum Punk.

Seperti halnya kaum muda lainnya yang bukan anak jalanan dan Kaum Punk, bahwa ada yang terjebak dalam kehidupan seks bebas, LGBT, penyalahgunaan narkoba, korban keluarga pecah, atau pernah terilbat masalah pelanggar hukum. Tetapi ada juga yang secara moral dan etika mereka adalah orang baik yang tidak mau melanggar hukum dan norma kehidupan masyarakat pada umumnya. Hanya mereka ingin hidup bebas di luar rumah namun tanpa pernah melupakan keluarga sama sekali.


Alasan Mereka Menjadi Kaum Punk.

Selama ini beberapa kali penulis berbincang dengan beberapa komunitas Kaum Punk, seperti saat ada konser SLANK ( Slankmania tak selalu Kaum Punk sekalipun banyak yang menjadi anak jalanan ) serta saat perjalanan dinas dan wisata.

Dari perbincangan dapat diketahui, bahwa ternyata Kaum Punk tak selamanya seperti anak jalanan yang tuna wisma dan tak mempunyai keluarga atau bahkan dari keluarga pra sejahtera. Ternyata mereka pun ada yang berasal dari keluarga yang boleh dikatakan amat sejahtera bahkan boleh dikatakan amat kaya.

Sebut saja namanya Arni (bukan nama sebenarnya), ia berasal dari sebuah kota besar di Sumatera dengan logat bicara sukunya, ia menjelaskan terpaksa harus lari dari rumahnya dan ikut komunitas Punk untuk menjauhi tekanan dari orangtuanya yang memaksa melanjutkan pendidikan yang tak diminatinya. Tapi apa harus keluar dari rumah? Bagi dia rumah bagaikan penjara karena keluarganya ternyata mendukung kehendak ibunya yang ingin anaknya menjadi seorang musisi yang terkenal. Padahal ia mempunyai cita-cita menjadi seorang desainer.

Di depan penulis Arni menunjukkan kelihaiannya dalam memetik gitar yang dipinjam dari temannya yang baru saja mengamen. Sebuah lagu klasik dilantunkan dengan merdu, dan menurut pengakuannya ia menguasai biola dan piano.

Mengapa menjadi pengamen jika tak mau menjadi musisi? Mengamen dilakukan untuk mencari uang secara halal daripada mencuri seperti ayahnya yang sering menyalahgunakan wewenangnya. Ayahnya korupsi? Dia mengangkat pundaknya sambil menjawab lirih sepertinya begitu.


Apa hasil mengamen mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup selama menggelandang? Ardi, teman sekomunitas menjawab, bahwa secara ekonomi ia masih disubsidi oleh orangtuanya lewat kartu ATM yang ia bawa.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline