Bagi manusia jadul macam penulis, tentu ingat akan tembang campursari karya Ki Nartosabdo yang berjudul Lumbung Desa dan Lesung Jumengglung. Lagu yang menggambarkan secara tak langsung kesuburan tanah Jawa sebagai penghasil padi yang subur. Lagu yang cukup terkenal di awal 70an ini betul-betul menggambarkan bagaimana suasana pedesaan pada masa itu. Penuh kedamaian dan ketenteraman, sekali pun pada masa pertengahan 60an negeri kita mengalami suatu krisis besar dan paceklik luar biasa sehingga yang dulu makan nasi harus makan bulgur.
Penulis sendiri mengalami dan merasakan bagaimana menjadi petani ( kecil ) dan kemakmuran saat itu, sekalipun masa tanam dan panen saat itu hanya dua kali setahun. Pada masa itu, padi yang dikenal hanya jenis bengawan, jawa, cempa tomat, cempa lele dan ketan yang usia tanamnya sekitar 6 bulan. Pohonnya setinggi sekitar 80 – 90 cm, sehingga saat panen lebih sering menggunakan ani-ani. Sehingga batang yang telah dipetik bisa digunakan untuk keperluan lain, misalnya sebagai kuas untuk mengapur rumah, dibakar untuk penghitam rambut, atau dibakar untuk pengusir nyamuk. Para pemanennya pun kebanyakan wanita sedang para pria yang membawa atau memikul padi dari sawah ke lumbung.
[caption caption="Panen dengan ani-ani."]
[/caption]
[caption caption="Panen dengan sabit."]
[/caption]
Padi yang masih menempel di batangnya disimpan dalam lumbung. Ada yang mengambil padi sesuai dengan kebutuhan ada pula padi yang diambil semua lalu diiles ( diinjak-injak ) agar terlepas dari batangnya atau menjadi gabah. Kemudian gabah dijemur dan jika kering disimpan di gledheg yakni sebuah peti yang terbuat dari kayu dan khusus untuk menyimpan gabah. Gabah kering di gledheg juga diambil secukupnya lalu ditumbuk di sebuah alat yang disebut lesung yang terbuat dari kayu. Padi yang terkelupas dari kulitnya atau menjadi beras lalu disimpan di gledheg.
Gledheg ada yang ditaruh di dalam lumbung ada juga yang ditaruh di sentong yakni sebuah ruangan dalam rumah ( tradisional ) yang khusus untuk menyimpan padi ( gabah ) dan beras. Sentong ada di ruang tengah atau ruang keluarga dan amat disakralkan karena dipercaya tempat Dewi Sri berada dalam rumah tersebut. Tidak semua anggota keluarga boleh memasuki sentong selain mereka yang sudah dewasa atau pandai mencari nafkah ( bertani ).
Pada saat-saat tertentu, sering diadakan selamatan atau kenduri khusus untuk menghormati Dewi Sri dalam sentong agar senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan kesuburan bagi sawah mereka.
Bagi mereka yang tidak mempunyai lumbung dan sentong, padi biasanya ditaruh atau digantung di paga, sebuah tempat untuk menaruh perlengkapan dapur sedang beras disimpan di sebuah tempat yang disebut pedaringan.
[caption caption="Jimeng menjadi tempat kongkow."]
[/caption]
Perkembangan jaman dan teknologi banyak merubah gaya hidup dan pola bercocok tanam. Sejak pertengahan 70an dikenal padi PB 6 dengan usia tanam hanya sekitar 4 bulan. Ketinggian pohon pun hanya sekitar 60 cm, sehingga terlalu sulit jika harus memanen dengan menggunakan ani-ani. Menyabit pangkal batang padi lebih sering digunakan lalu langsung digeblok untuk melepas gabah dari batangnya. Selanjutnya gabah dijemur hingga kering kemudian langsung diselep untuk dijadikan beras.
Menyempitnya lahan pertanian untuk pemukiman semakin menghilangkan budaya sakral panen padi. Sebuah tradisi yang dulu bisa mengakrabkan hubungan sosial warga ( pedesaan ) kini boleh dikatakan sulit ditemui. Penulis sendiri terakhir merasakan suasana tersebut saat dalam perjalanan ke Jogja pada Juni 2015 yang baru lalu. Saat itu sedang di tengah perjalanan ketika sampai di Ngawi melihat panen raya padi, sontak terpanggil ikut bersuka ria memetik padi. Serta saat berada di Sleman seperti yang diceritakan di postingan ini: http://www.kompasiana.com/aremangadas/keceriaan-dan-kebahagiaan-di-balik-tubuh-renta-buruh-tani-pemanen-padi_55b96790397b611e2929e81e
[caption caption="Sawah terdesak pemukiman."]
[/caption]