[caption="Mbah Tasrip"][/caption]Orang memanggil Mbah Tasrip, usianya sekitar 65 tahun. Badannya yang kecil dan kurus namun tak menunjukkan badan yang lemah, sekalipun tak tampak otot-otot yang menonjol seperti kebanyakan para pekerja kasar.
Mbah Tasrip sedang duduk di bawah pohon di depan gubuknya yang baru dibangun sekitar sebulan yang lalu di bagian barat tepi Pantai Kondang Merak, Kabupaten Malang. Sebuah area yang masih sepi karena berada di tepi hutan bambu. Sambil menghisap dalam-dalam rokok tingwenya, Mbah Tasrip terus memandang laut lepas selatan Pulau Jawa.
Di depan gubuk, istri dan anak, serta menantunya sedang leyehan ( tiduran ) melepas lelah di atas lincak atau amben. Ketika penulis datang, disambut dengan senyuman ramah. Sebuah senyuman khas orang pinggiran yang tak pernah merasa curiga terhadap yang belum dikenalnya.
[caption="Gubuk keluarga Mbah Tasrip"]
[/caption]
Mbah Tasrip, berasal dari Desa Bulu kurang lebih 6 km sebelum Pantai Balekambang atau 9 km sebelum Pantai Kondang Merak. Beliau adalah salah satu warga yang diberi kesempatan oleh aparat desa untuk membuka lahan seluas 20 x 10 m dan membangun sebuah gubuk yang kelak bisa dijadikan warung bila Pantai Kondang Merak menjadi kawasan tujuan wisata yang lebih menarik. Namun sebelumnya, Beliau dan beberapa warga secara bergantian diminta secara gotongroyong atau kerjabakti membersihkan dan membuat jalan yang layak di sekitar pantai.
[caption caption="Salah satu sudut tempat Mbah Tasrip mencari rumput laut Pantai Kondang Merak"]
[/caption]
Tentu saja, kesempatan ini diterima Mbah Tasrip dengan keluarganya serta para warga yang berminat dengan senang hati. Selama ini Mbah Tasrip hanyalah petani kecil dengan lahan yang kurang subur ( seperti halnya sepanjang pantai selatan Jawa yang berkapur ) dengan luas tak lebih dari setengah hektar. Ketika musim kemarau yang tak mungkin mengelola kebunnya, Beliau beralih menjadi pencari rumput laut yang banyak tumbuh di karang dan cadas di sepanjang Pantai Kondang Merak.
Ana dina ana upa. Ada hari ada nasi. Tuhan Maha Adil. Di musim kemarau, lahannya yang berkapur semakin sulit untuk menghasilkan sebuah tanaman yang produktif. Tetapi pada saat itu pula, sepanjang pantai banyak tumbuh rumput laut. Karena pada musim kemarau tidak ada air tawar yang mengalir turun dari perbukitan atau hutan-hutan di tepi pantai yang menghambat pertumbuhan rumput laut. Sebaliknya, pada musim hujan lahannya di desa mulai bisa dikelola untuk ditanami sayuran atau tanaman semusim yang cukup produktif. Sedang karang pantai sudah tak sesubur menumbuhkan rumput laut.
[caption caption="Rumput laut yang baru didapat dan masih basah."]
[/caption]
Di musim kemarau yang cukup panjang kali ini, Mbah Tasrip bisa mencari rumput selama empat bulan lebih. Biasanya, hanya sekitar tiga bulan saja. Sedang di masa pancaroba, rumput laut mulai menghilang. Waktu pencariannya di mulai sekitar jam 3 sore hingga jam enam sore dan jam 4 pagi hingga jam 7 pagi, saat air laut mulai surut.
Dalam sehari, bersama istrinya rata-rata bisa mendapat sekitar 10 kg rumput laut basah. Bila sudah dicuci dan dikeringkan oleh pengepul akan dibeli seharga 10 ribu rupiah setiap kilogramnya. Setiap satu kilogram rumput laut basah bila dikeringkan biasanya menjadi 400 atau 450 gram rumput laut kering. Artinya penghasilan ekonomis Mbah Tasrip dan istrinya hanya sebesar Rp 45.000,- per hari. Sebuah jumlah yang jauh dari kebutuhan keluarga sejahtera.
Mengapa Mbah Tasrip tidak menjadi nelayan atau pencari ikan? Sekalipun Beliau, hidup di tepi pantai sejak kecil ternyata Mbah Tasrip cukup takut dengan keganasan pantai selatan Pulau Jawa yang ombaknya selalu bergulung-gulung besar. Maka dari itu, Beliau pun mencari rumput laut di karang-karang di sebuah teluk kecil yang tak terlalu besar ombaknya karena terhalang oleh Pulau Semar dan sebuah gugusan karang kecil.