Rutinitas tugas baik di rumah maupun di sekolah kadang membuat jenuh dan pikiran menjadi agak buntet. Ide-ide menjadi seret. Entah untuk membaca atau menulis, bahkan sekedar duduk berdua dengan pasangan menikmati makanan yang sudah disiapkan pasangan tercinta.
Maka jalan satu-satunya adalah keluar rumah untuk menyegarkan pikiran dan melemaskan otot-otot dan mencucimata dengan melihat hilirmudiknya para penikmat malam minggu. Biasanya kami memang kembali ke lereng Semeru menikmati terang bulan di gunung seperti lagunya Titiek Sandhora, tetapi karena bulan masih seperti clurit apalagi sekarang sedang puncak musim dingin dan berdebu maka kali ini kami enggan.
Pilihan pun jatuh untuk jalan kaki menuju Malioboro yang jaraknya tak lebih dari satu kilometer dari rumah. Malioboro yang dimaksud bukanlah kawasan Malioboro di Jogja, tetapi sebuah warung angkringan gaya Jogja yang ada di dekat rumah kami. Bagi siapapun yang merindukan masakan khas Jogja atau kongkow-kongkow di angkringan gaya Jogja di Malang memang tak terlalu sulit menemukan. Mulai dari gaya warung lesehan di kaki lima, kafe, depot, atau restoran semua ada. Masakan dan makanan mulai dari mendoan, tempe bacem, tetel, gudeg, dan aneka masakan khas Jogja juga ada. Pilihan tergantung selera dan ketebalan kantong.
Di Angkringan Maliboro ini, rasa dan bumbu khas Jogja tak terbantahkan lagi nikmatnya. Bahkan rasa boleh dikatakan melebihi kebanyakan angkringan di Jogja. Selain pengusahanya adalah warga Sleman asli, para penyajinya pun tiga pemuda dari Godean dan Gejayan. Penampilannya pun cukup menarik pengunjung dengan memakai beskap dan blangkon serta bicara dengan pelanggan memakai bahasa krama yang cukup halus.
Di angkringan ini memang tidak menjual gudeg, karena di warung sebelahnya (milik seorang pengusaha dari Jogja) sudah menjual gudeg. Yang dijual hanya nasi kucing, mendoan, tetel, sate ayam, sate usus, sate rempelo ati, sate bakso, dan bacem tempe tahu. Minuman yang dijual pun khas Jogja, yakni jae dan tuwuhan yang manis dan segar.
Hal yang cukup menarik pembeli adalah harganya hanya dua ribu rupiah per buah. Kecuali sate ati seharga tiga ribu rupiah. Harga yang cukup murah sekalipun di sebuah angkringan kaki lima.
Di dekat komplek Sawojajar memang angkringan ini paling menarik selain warung gudeg di sebelahnya. Sehingga banyak kaum muda yang merindukan masakan Jogja sering nongkrong dan makan di sini. Apalagi pada malam minggu, sehingga pendapatan warung ini bisa mencapai satu juta. Luar biasa nikmatnya….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H