Sulit sekali menemukan istilah ‘kesambet lelembut’ yang berasal dari Bahasa Jawa dalam Bahasa Indonesia. Menggunakan istilah ‘kerasukan setan’ juga kurang tepat, karena kerasukan setan bisa berarti orang yang marah sekali bahkan boleh dikatakan sudah tak dapat mengendalikan diri. Jika kesambet lelembut lebih berarti ada mahluk halus yang mampir ke dalam jiwanya sehingga yang empunya raga tak bisa berbuat apa-apa. Linglunglah…. Benarkah lelembut bisa membuat kita tak bisa berbuat apa-apa? Ini kisah nyata yang pernah saya alami sekitar dua puluh tahun yang lalu.
Setiap pribadi adalah unik atau berbeda satu dengan yang lainnya. Demikian juga murid yang saya hadapi setiap hari dalam olahraga. Ada yang suka ada yang setengah suka dalam arti ikut kegiatan olahraga hanya sekedar ikut-ikutan karena kuatir digoda temannya. Sekalipun hanya melakukan senam untuk peregangan dan pemanasan atau lari kecil untuk membuang kalori yang ada di tubuhnya. Apalagi melakukan olahraga inti seperti bola basket, futsal, bulutangkis, dan atletik seperti lompat jaut dan loncat tinggi. Entah putra entah putri, pokoknya kalau tidak senang olahraga ya tidak mau ikut. Kalau pun dipaksa mereka akan menjadi bahan cemoohan dan malah membuat pelajaran olahraga menjadi berjalan tak lancar.
Nah, menghadapi siswa yang seperti ini haruslah perlu kesabaran menghadapi protes dari rekan-rekannya jika mendapat nilai yang sama dengan tetapi ikut pelajaran olahraga sepenuhnya. Untuk itu, siswa yang tidak mau ikut olahraga saya minta bermain catur atau membaca buku-buku atau artikel kesehatan atau olahraga lalu meringkasnya. Dan tentu saja kadang saya ajak main catur saat teman-temannya bermain beregu. Ini semua tetap dilakukan dengan pengawasan saya sepenuhnya dan biasanya mereka duduk atau mengerjakan di pinggir lapangan di bawah pohon beringin yang tumbuh subur di sekolah kami.
Mereka yang tak suka olahraga ini saya sebut sebagai kelompok lemah lembut. Karena gerak-gerik mereka cenderung lemah gemulai dan kurang cekatan.
Manusia kadang lupa. Termasuk saya sebagai seorang guru. Ketika akan diadakan penilaian tentang passing bola basket, saya sedikit memaksa mereka untuk ikut. Tetapi mereka juga ngotot tak mau ikut. Dengan sedikit jengkel mereka yang lemah lembut ini kusuruh duduk-duduk di bawah pohon beringin dengan berkata: “ Para lelembut duduk-duduk menjaga pohon beringin di sana saja…”
Sontak, para siswa lainnya menjadi tertawa ngakak. Mereka yang saya sebut lelembut pun tersenyum sambil menuju pohon beringin.
Sungguh di luar dugaan, keesokan harinya ada orangtua siswa yang menemui dan mengatakan ketidaksukaannya atas sebutan lelembut yang kukatakan. Menyadari kesalahan tersebut saya meminta maaf pada orangtua siswa tersebut, sekali pun dia bukan salah satu orangtua siswa yang kusebut sebagai lelembut. Toh, pada akhirnya saya pun mendapat teguran dari pimpinan untuk tidak mengulangi perkataan konyol tersebut.
Beberapa hari selanjutnya saya menjadi pergunjingan yang kurang enak didengar. Gegara keseleo lidah akibat ucapan lelembut.
** Mudah-mudah tak ada guru yang sial sepertiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H