Lihat ke Halaman Asli

Mbah Ukik

TERVERIFIKASI

Jajah desa milang kori.

Apel Malang Menuju Kehancuran?

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13274932191424325951

Bicara tentang apel Malang selama ini perhatian kita selalu tertuju pada kota kecil Batu, yang ada di wilayah barat Malang. Padahal, penghasil apel Malang sejak tahun 80an bukan hanya monopoli Batu saja. Wilayah lain penghasil apel adalah Desa Tosari, Gubuk Klakah, Wringin Anom, dan Poncokusumo yang berada di Kecamatan Poncokusumo wilayah bagian timur Malang. Selain itu ada juga di daerah Nongkojajar wilayah Kabupaten Pasuruan.

[caption id="attachment_157413" align="aligncenter" width="469" caption="Apel Merah dari Gubuk Klakah, Malang"][/caption]

Dengan merosotnya produksi apel di Batu akibat menyempitnya lahan dan pemanasan global serta beralihnya petani apel menjadi petani sayur dan bunga akibat melambungnya harga obat dan pupuk serta beaya produksi yang lain, dominasi apel Malang kina ada di wilayah Kecamatan Poncokusumo.

[caption id="attachment_157414" align="aligncenter" width="625" caption="Jika kesuburan tanah terjaga hasil bisa maksimal."]

1327493472768540160

[/caption] Puncaknya pada awal tahun 90an yang saat itu dalam 1 ha bisa menghasilkan 40 ton apel! Namun kini yang terjadi adalah ‘malapetaka’ bagi para petani dan seharusnya semua kalangan, karena dalam 1 ha lahan untuk menghasilkan apel sebanyak 25 ton saja sungguh amat sulit.

Faktor-faktor yang menyebabkan merosotnya produksi apel Malang yang ada di wilayah timur Malang:

1.1. Kesalahan dari dinas atau pihak yang berwenang dalam pembinaan atau penyuluhan para petani apel. Jika pada awal 80an para petani masih menggunakan pupuk kandang dan kompos, pertengahan tahun 80an para petani dialihkan para penyuluh ( penyuluh menjadi ‘agen iklan’ produsen pupuk ) untuk menggunakan pupuk kimia untuk meningkatkan produksi. Dalam 5 sampai 6 kali panen pengahsilan memang meningkat tajam. Dampaknya, tanah menjadi liat dan keras sehingga beaya operasional menjadi tinggi dan sulit untuk dilakukan tumpangsari.

[caption id="attachment_157416" align="aligncenter" width="654" caption="Peremajaan pohon tak ada lagi. Bahkan tampak pada gambar latar banyak lahan beralih tanaman."]

132749368142289449

[/caption]

2.2. Menurunnya kesuburan tanah. Selain akibat ketergantungan pada pupuk kimia juga meningkatnya keasaman tanah. Hal ini memang perlu penelitian khusus dari pihak berwenang.

3.3. Beralihnya para petani apel menjadi petani sayur yang beaya produksinya jauh lebih murah. Pohon yang tua ditebang namun tak ada penggantian.

4.4. Serbuan apel China yang jauh lebih murah.

Untuk kembali pada kejayaan apel Malang, para petani harus terus diberikan dukungan dan penyuluhan. Bukan dibiarkan apalagi ditinggalkan.

ooooooo

[caption id="attachment_157418" align="aligncenter" width="630" caption="Apel manalagi yang menawan."]

1327494148853204748

[/caption]

“Apakah dari pihak Dinas Pertanian atau apalah namanya pernah memberi bimbingan dan penyuluhan pada para petani?”

“ Ha..ha…ha…ha… Apel Malang kan bukan komiditas utama! Mana mungkin mereka perhatian pada kita? Mereka perhatiannya hanya pada padi, kedelai, jagung, tebu….. Itu pun dulu!” kata Manto seorang pemuda petani apel di Gubuk Klakah.

Kami semua tersenyum lalu tertawa terbahak-bahak mendengar ungkapan itu, lalu bersama-sama bernyanyi…..

Cul-culan ngadeg dhewe…. Cul-culan ngadeg dhewe

Arti lagu ini : lepas tangan berdirilah sendiri!

Lagu ini biasa dinyanyikan orang tua saat balitanya belajar berjalan.

Ya itulah nasib petani apel Malang. Dibiarkan saja…….berkembang atau mati terserah petani.

[caption id="attachment_157419" align="aligncenter" width="482" caption="Apel Malang dapat menjadi bisnis Agro Wisata yang menjanjikan."]

13274943621588191479

[/caption] Sumber wawancara, pembicaraan, dan pengamatan : 1. Mas Manto, Mas Gofur, Mas Dwi, Cak Kartono, Cak Budi, Mas Muji, Pak Dhe Surti, & Mas Ukik petani apel di Gubuk Klakah. 2. Pak Muji, Pak Rahman, dan 3 orang yang tak mau disebut namanya warga Poncokusumo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline