Saat Bromo Meletus
Entah ini perjalanan ke berapa dalam menjelajah wilayah lautan pasir dan kaldera Bromo selama hampir 35 tahun atau tiga perempat hidupku. Waktu yang cukup panjang namun tidak pernah membuat diriku bosan. Bahkan semakin mempererat hidupku bersama masyarakat Suku Tengger yang hidup di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Alamnya yang indah, tanahnya yang subur, dan budayanya yang unik, serta masyrakatnya yang begitu santun membuat diriku tak bisa berkutik.
Perjalanan kali ini, memang bukan yang luar biasa namun juga tidak biasa. Dalam 10 tahun terakhir Gunung Bromo telah meletus 3 kali, justru pada saat aku jauh darinya. Aku tidak pernah mengalaminya kecuali mendengar kisahnya atau hanya lewat televisi saja.
Kini, pada saat Bromo sedang terbatuk-batuk aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin tak akan pernah kurasakan lagi. Empat kali aku menerobos lewat jalan tikus bersama beberapa orang yang harus mencari rumput demi ternak mereka. Ya, demi ternak mereka. Ternak mereka adalah diri mereka sendiri. Seperti alam yang merupakan bagian dari kehidupan mereka sendiri. Demikian juga sapi, kuda, dan babi merupakan bagian hidup mereka yang tak terpisahkan! Mereka tak pernah peduli dengan janji Pak Dhe Karwo ( Gubernur Jawa Timur ) yang akan mengganti ternak mereka jika mati terkena letusan Bromo. Terkena letusan atau tidak, diganti atau tidak, sebelum semua terjadi, ternak harus diberi makan. Maka, letusan Bromo bukanlah halangan, tetapi tantangan yang harus dihadapi dalam kehidupan!
[caption id="attachment_129991" align="aligncenter" width="412" caption="Mencari Rumput Di Daerah yang Tidak Terkena Debu"][/caption] Luar biasa! Deru dan gelegak lahar di dalam perut Bromo yang menderu-deru selama 11 menit dengan tenggang 3 menit sekali betul-betul tidak menyiutkan nyali mereka.
“ Menapa ingkang diajrihi? Sedaya nggih bakal pejah. Kula sakaluarga kaliyan tiyang-tiyang setunggal dusun angsal bantuan wos. Nanging damel kapal kula, napa angsal bantuan rumput saking pemerentah? Lha nggih mokal menawi kula mboten ngrumput!” kata Kang Joyo warga Ngadisari.
( “ Apa yang ditakuti. Semua pasti akan mati. Kami sekeluarga dan seluruh warga desa mendapat bantuan beras. Tapi untuk kuda saya, apakah mendapat bantuan rumput dari pemerintah? Lha ya tidak mungkin kalau saya tidak mencari rumput!” kata Kang Joyo warga Ngadisari.)
[caption id="attachment_129992" align="aligncenter" width="451" caption="Pulang Mencari Rumput di Adasan"][/caption] Membonceng Rumput Demi Ternak Bukan hanya Kang Joyo saja, tetapi hampir setiap warga ( pria-wanita, tua-muda ) yang mempunyai ternak harus mencari rumput di daerah Adasan. Adasan adalah padang rumput di kaldera Bromo yang tidak terkena dampak letusan Bromo.Dari Ngadisari jaraknya lebih kurang 12 km yang harus ditempuh jalan kaki selama 3 jam karena jalan setapak telah tertutup debu diiringi gelegar Sang Brahmana yang terus menyemburkan pasir.
[caption id="attachment_129995" align="aligncenter" width="486" caption="Menembus Lautan Pasir"][/caption] [caption id="attachment_129997" align="aligncenter" width="486" caption="Tiga Wanita Memanggul Rumput Melewati Lautan Pasir"][/caption] Bagaimana dengan warga yang bekerja sebagai petani? Bagi para petani, malah sungguh di luar dugaan tanggapan mereka atas letusan Bromo kali ini.
“ Griya kula amblek kabotan lebu. Ning kula sakaluaraga nggih slamet. Warga dusun nggih mboten wonten ingkang pejah amergi Bromo njebluk! Taneman sayur panci kathah ingkang rusak. Nanging lebuh Bromo nggih marakaken siti dados loh. Sakmenika mboten saged nandur, napa malih panen. Kula percados setunggal utawi kalih tahun malih, panenan bakal kathah! Gusti mboten nate nyengsarakaken kita sedaya..” kata Mas Subin seorang petani.
( Rumah saya roboh terbebani debu. Tapi kami sekeluarga selamat. Warga desa juga tidak ada yang mati karena Bromo meletus. Tanaman sayur memang banyak yang rusak. Tetapi debu Bromo juga membuat tanah menjadi subur. Sekarang tidak bisa menanam, apalagi panen. Saya percaya setahun atau dua tahun lagi, panen akan melimpah! Tuhan tidak pernah menyengsarakan kita semua…” kata Mas Subin seorang petani.)
Apa yang dikatakan Mas Subin memang benar. Dicatatan saya, dalam tiga kali letusan Bromo selama 10 tahun terakhir memang tidak pernah ada korban mati di lingkungan masyarakat Suku Tengger. Kecuali seorang turis dari Singapura yang mati tertimpa batu membara dari kawah Bromo saat meletus 2004 yang lalu.
Demikian juga panenan menjadi turun drastis. Namun kemalangan ini tidak dirasakan oleh para petani yang lahannya ada di balik timur dan timur laut Gunung Bromo atauyang tidak tertimpa debu. Mereka tetap bisa panen walaupun dengan jumlah sedikit.
[caption id="attachment_129998" align="aligncenter" width="459" caption="Seorang Penjual Makanan Menunggu Wisatawan"][/caption]
Hukum ekonomi dan perdagangan berlaku. Persedian sedikit dan permintaan banyak maka harga pun melambung. Apalagi sepanjang tahun 2010 boleh dikatakan musim hujan terus. Sehingga banyak tanaman sayur di beberapa daerah banyak yang rusak dan bahkan gagal panen.
[caption id="attachment_130000" align="alignnone" width="460" caption="Tetap Menanam Sekalipun Diguyur Debu"][/caption]
[caption id="attachment_130004" align="aligncenter" width="438" caption="Lahan Yang Tertutup Debu Bromo"][/caption]
Sungguh, hati saya menjadi teriris haru ketika melihat beberapa warga yang tidak tertimpa musibah berbagi kebahagian dengan memberikan hasil panen mereka kepada yang susah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H