[caption id="attachment_301140" align="aligncenter" width="400" caption="Pos Ranu Pani"][/caption]
Enam pendaki Gunung Semeru yang kami antar, minta mampir ke kebun apel untuk menikmati sensasi indahnya perkebunan apel yang jarang mereka lihat secara langsung. Awalnya kami keberatan, namun karena rasa kasihan maka kami perbolehkan dengan pesan tidak boleh memetik sekalipun hanya sebuah tiap orang.
Setelah menikmati sensasi indahnya kebun apel di perbukitan Desa Gubuk Klakah selama lima belas menit, perjalanan dilanjutkan menuju Ranu Pani dengan sepeda motor. Biasanya pendaki dari Tumpang menuju Ranu Pani menggunakan jeep hardtop atau terbuka, namun karena ingin menikmati pemandangan yang luar biasa maka lebih senang diantar dengan sepeda motor.
Salah satu pendaki yang kuantar, amat mengherankan karena selama perjalanan sering minum air kemasan yang di bawahnya. Ketika sampai di tepi Danau Ranu Pani ia pun langsung merebahkan diri. Demikian juga tiga orang temannya. Tampaknya mereka kelelahan dalam perjalanan dengan kereta api kelas ekonomi dari Jogja. Belum lama tiduran dua di antara mereka muntah-muntah.
“ Mataku klemun-klemun ….,’’ kata salah satu yang paling muda.
Kalau biasanya aku selalu dipijeti Si Marni, kali ini aku memijeti pundah dan ‘entong-entong’ pendaki yang tak pernah kukenal. Cak Parno dan Cak Budi pun memijet pendaki lain yang juga teler. Dua pendaki wanita tampak gelisah namun tak dapat berbuat apa-apa selain menatap kami dengan mengharap bantuan kami.Kemudian saya minta minyak kayu putih atau minyak angin yang mereka bawa. Salah satu pendaki wanita membongkar carriernya, dan secara tak sengaja di bagian atas tampak beberapa buah apel manalagi yang baru dipetik. Aku pun diam saja.
[caption id="attachment_301141" align="aligncenter" width="300" caption="Nggeblak di sebuah perahu karet di tepi Ranu Pani."]
[/caption]
[caption id="attachment_301142" align="aligncenter" width="400" caption="Dasar anak muda....."]
[/caption]
Dua pendaki wanita kuminta menggosok dada dan perut temannya yang teler. Sedang aku duduk di samping mereka dengan bibir ndemimil mengucap mantra. Beberapa saat kemudian, para pendaki yang teler itu langsung muntah-muntah dengan menyebarkan aroma yang heemmmmm…… melebihi kandang kuda!
Kupandang pendaki wanita yang tampak kebingungan.
“ Kena santet……, karena kalian punya niat kurang baik ” kataku pelan.
Pendaki wanita mulai menitikkan air mata. Entah kenapa?
Sejenak kemudian dia bersuara lirih,“ Sungguh kami hanya ingin berkemah dan mendaki. Bukan untuk melakukan yang bukan-bukan …..”
“ Oh ya……,” jawabku sekenanya tanpa melihat wajah mereka.
Setelah tampak sehat, kuminta mereka mengeluarkan bekal makanan dan minuman untuk kuberi mantra agar terbebas dari santet. Mereka agak ragu. Namun tak berani menolak ketika tatapan mataku yang tajam membuat mereka grogi. Bekalpun ditaruh di dekat carrier, lalu kupegang satu persatu sambil menyedot rokok klembak yang menebarkan aroma kemenyan yang tajam dan ndemimil mengucap mantra. Ketika memegang apel manalagi, kuamati dengan tajam. Bau pestisida untuk menghindari hama menjelang panen masih tercium. Lalu kuminta mereka membuang ke tengah Danau Ranu Pani. Dengan wajah memerah, 8 buah apel itu dilemparkan mereka ke ranu.
[caption id="attachment_301144" align="aligncenter" width="400" caption="Menyesal setelah membuang apel?"]
[/caption]
“ Tak usah melanjutkan ke puncak Maha Meru. Cukup ke Ranu Kumbolo saja. Kekuatanmu dan mantraku hanya menemani sampai di sana. Lusa kami jemput di sini jam 12 siang!”pesanku pada mereka.
Tiga hari kemudian mereka kami jemput dan saat di rumah kami beri sekilo apel manalagi.
“ Ini apel bersih. Perut kalian tak akan kembung……”
*fotosendiri*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H