[caption id="attachment_337960" align="aligncenter" width="400" caption="Seorang relawan yang baru saja menyiapkan nasi bungkus bagi korban Merapi di Magelang pada Oktober 2010 silam."]
[/caption]
Nasi bungkus, istilah ini sebenarnya sudah ngetop sejak dulu. Sejak penulis masih kecil, kalau mau kerja di sawah selalu diberi bekal nasi bungkus. Demikian juga kalau mau pulang kampung ke Kebumen dengan naik kereta api hitam, bekalnya selalu nasi bungkus. Kalau ada rejeki, biasanya nasinya ya nasi dari beras, tapi kalau tak ada rejeki ya cuma nasi jagung atau kadang-kadang nasi empog. Sayurnya sih bergantian, kadang urap-urap, oseng kangkung atau sawi, bahkan yang sering cuma sayur genjer dan sambel oyek atau sambel tomat. Lauk yang paling sering ikan asin dan teri atau tempe dan tahu goreng. Kalau pas gak ada lauk ya kadang makan dengan lauk gongsongan kol atau keong emas yang mudah dicari di sawah menjelang musim panen. Bila mau sedikit enak, ya harus mau cari atau mancing belut, wader, lele, atau kotes. Itu masih mending atau lumayanlah, pada akhir 60an malah pernah makan nasi bulgur yang cuma bisa dimakan dengan campur parutan kelapa, bahasa Jawa-nya: dikrawu! Hla bulgur itu sebenarnya bukan untuk konsumsi manusia tetapi ‘pakan kuda’ Salah dalam memasak bisa membuat perut kembung dan sebah! Karena saat itu negeri kita yang gemah ripah loh jinawi sedang diserang paceklik hebat, maka dibantulah bangsa kita dengan bulgur oleh Amerika.
Pada masa kini, saat ekonomi sudah baik istilah nasi bungkus bukan sekedar nasi untuk bekal. Tetapi juga konsumsi yang diberikan oleh seseorang atau sebuah organisasi bagi mereka yang mau berdemo untuk kepentingannya. Maka mucul pula istilah ‘pasukan nasi bungkus’
Menikmati nasi bungkus setelah demo.
Pasukan nasi bungkus bukan hanya melulu dari kelompok bawah atau pinggiran yang melakukan demo atas permintaan. Tetapi juga oleh para mahasiswa yang tak punya beaya untuk demo menentang kenaikan BBM. Mereka biasanya minta donasi dari seseorang untuk konsumsi setelah demo. Sang penyumbang belum tentu setuju dengan para mahasiswa ini. Hanya berdasarkan rasa kasihan melihat mereka kecapaian setelah demo. Ingat peristiwa demo penggulingan Soeharto di depan parlemen pada 1998 yang lalu.
Kalau saya sendiri, sering membeli nasi bungkus di sebuah warung bila dalam perjalanan ke desa atau sebaliknya. Istri tercinta memang menyediakan bekal, tapi karena harus membawa wadah yang malah gak praktis jadi sering enggan bawa bekal. Lebih enak membeli di warung sega jagung atau sega empog sambil ngobrol dengan penjualnya yang…….. tua-tua itu. Makannya memang jarang di warungnya. Lebih sering makan di pinggir hutan sambil melihat lutung-lutung yang bergelantungan.
Masalah enak atau tidak enak, ini hanya masalah selera saja. Terpenting jangan sampai jadi pasukan nasi bungkus……
[caption id="attachment_337956" align="aligncenter" width="450" caption="Apakah ini pasukan nasi bungkus?"]
[/caption]
[caption id="attachment_337957" align="aligncenter" width="450" caption="Nasi empog bungkus yang telah dibuka dan ditaruh di piring."]
[/caption]
[caption id="attachment_337959" align="aligncenter" width="450" caption="Kalau ini jelas bukan nasi bungkus! Mau?"]
[/caption]
* Jelas foto-foto sendiri......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H