Lihat ke Halaman Asli

Susi Diah Hardaniati

IBU DARI SEORANG ANAK LELAKI YANG MEMBANGGAKAN

[Untukmu Ibu] Aku Belajar dari Mama

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[Untukmu Ibu] Aku Belajar dari Mama

32 - Arek Tembalangan

Beberapa tahun yang lalu, pada Hari Ibu seperti ini, aku iseng-iseng bergabung dengan siaran interaktif yang diadakan salah satu stasiun radio lokal di kotaku. Temanya tentu saja Hari Ibu. Setiap penelepon diminta menceritakan kesan-kesan tentang Ibu mereka. Termasuk aku.

Para penelepon rata-rata dengan berbunga-bunga bercerita tentang Ibu mereka, bahkan mengharu-biru, namun ceritaku sedikit berbeda. Bagiku, bicara tentang Mama adalah bicara tentang pelajaran menjalani hidup dalam dua dunia.

Pada akhir dekade 70-an, ketika aku duduk di bangku Taman Kanak-Kanak, Mama bekerja di salah satu bank swasta di kotaku (di kemudian hari, bank swasta ini jadi bank swasta terbesar di negara kita). Saat itu ibu teman-temanku rata-rata adalah ibu rumah tangga. Mama pulang kantor paling cepat pukul 4 sore, sedangkan Papa sudah ada di rumah pukul 2 siang. Aku tidak kesepian di rumah karena kami tinggal dengan Kakek dan Nenek. Ketika adik perempuanku lahir, Mama mengundurkan diri dari pekerjaannya. Selain karena Adik masih bayi, juga karena karir Papa sudah mulai meningkat.

Lewat siaran interaktif itu, aku juga menyampaikan bahwa aku menyesal Mama mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ketika pensiun, teman-teman kantor Mama dulu minimal menjabat sebagai Kepala Cabang. Dengan kemampuan Mama, aku percaya Mama bisa lebih dari mereka.

Tak disangka ucapanku itu memicu reaksi dari para penelepon berikutnya. Ada seorang ibu yang marah-marah karena beranggapan aku tidak tahu berterima kasih pada Mama. Si ibu berkata, tanpa pengorbanan Mama keluar dari pekerjaannya, aku dan adik tidak akan bisa jadi "orang" seperti sekarang ini sehingga tidak pantas kalau aku menyesali keputusan Mama.

Tanggapan ibu itu tidak aku balas.

Walaupun begitu, sampai sekarang siaran interaktif itu melekat dalam ingatanku. Ibu itu tidak memahami perasaanku menjadi anak seorang perempuan yang bekerja. Dia tidak memahami, misalnya, betapa bangganya aku melihat Mama menjemputku dari sekolah. Sekolahku kebetulan sangat dekat dengan kantor Mama, sehingga pada jam makan siang Mama bisa menjemputku untuk diajak ke kantornya, menunggu Papa menyusulku jam dua siang. Mama, dengan pakaian kerjanya, kelihatan sangat istimewa di antara ibu-ibu lain yang sama-sama menjemput anaknya. Senang sekali rasanya berjalan kaki ke kantor Mama sambil bergandengan tangan. Kalau ada teman yang bertanya, dengan bangga aku selalu menjawab, "Mamaku kerja di kantor lho. Aku mau diajak ke kantor Mama."

Aku masih ingat kantor Mama. Ruangan-ruangannya. Meja kerja Mama tempat aku suka ngumpet di bawahnya. Counter tempat karyawan melayani nasabah. Mie ayam kakilima yang sering jadi menu makan siang di kantor (dan aku kebagian tentu saja... hehehe...). Dan betapa kesalnya aku bila Papa muncul dari balik pintu kaca untuk menjemputku.

Aku sadar sepenuhnya bahwa Mama pasti punya alasan sendiri kenapa memilih jadi ibu rumah tangga. Yang jelas, pasti bukan karena Mama tidak mampu bersaing di dunia kerja. Selama bertahun-tahun aku sudah melihat bahwa Mama adalah supermanager otodidak yang sanggup menangani banyak hal, mulai dari urusan rumah tangga sehari-hari sampai tetek-bengek urusan organisasi wanita di mana ia menjadi anggota karena pekerjaan Papa. Bayangkan kalau bakat supermanager itu diterapkan dalam pekerjaannya... hmmm... aku pun pasti kalah hebat, walaupun aku sudah sekolah ke mana-mana!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline