Lihat ke Halaman Asli

Susi Diah Hardaniati

IBU DARI SEORANG ANAK LELAKI YANG MEMBANGGAKAN

Uklam Jogja #3: Pakai Pengaman di Prambanan

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13762862411054304645

Sebuah antrian di depan Candi Siwa, candi terbesar di kompleks Candi Prambanan, menarik perhatianku. Antrian yang cukup mengular itu terlihat "aneh" di tengah banyaknya turis yang asyik mondar-mandir berfoto di candi-candi lain di kompleks tersebut. "Aneh"-nya lagi, orang-orang dalam antrian ini kok sabar sekali menunggu, bahkan sampai bela-belain berpayung supaya tidak kepanasan. Daripada antri begini, kan mendingan menghabiskan waktu, keliling-keliling menikmati keindahan kompleks Candi Prambanan saja... Dari sesama turdom (turis domestik) aku dapat jawaban bahwa mereka antri untuk naik ke Candi Siwa. Jawaban yang singkat ini tentu saja tidak memuaskan, sehingga aku dan Arjuno masuk barisan, ikut antri. [caption id="attachment_280419" align="aligncenter" width="300" caption="antri dulu"][/caption] Ternyata antrian ini tidak hanya untuk naik ke Candi Siwa, tapi juga untuk mendapatkan sebuah helm berwarna biru muda yang harus dipakai selama berada di Candi Siwa. Memang sebelumnya aku melihat beberapa orang memakai helm tersebut. Tadinya kukira mereka anggota semacam tim peneliti. Eh, ternyata bukan... [caption id="attachment_280421" align="aligncenter" width="300" caption="wajib helm"]

13762865681074238367

[/caption] Dari petugas yang menyerahkan helm di tenda checkpoint, aku mendapat informasi bahwa Candi Siwa baru dibuka lagi untuk umum pada tanggal 7 Oktober 2012, setelah ditutup selama 6 tahun sejak gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya tahun 2006. Walaupun Candi Siwa dinyatakan relatif stabil, setiap pengunjung yang hendak naik ke Candi Siwa wajib mengenakan helm. Sebuah papan pengumuman juga menegaskan bahwa pengunjung yang boleh naik ke Candi Siwa maksimal hanya 50 orang saja, itupun waktunya dibatasi hanya 15 menit. [caption id="attachment_280422" align="aligncenter" width="300" caption="pengumuman di tenda checkpoint"]

1376286776741333426

[/caption] Aturan tersebut rupanya cukup ketat dilaksanakan, karena di atas Candi Siwa, kami beberapa kali bertemu dengan Satpam dan petugas Candi yang dengan tegas mengingatkan kami untuk tidak berlama-lama, maupun untuk melarang kami melewati beberapa bagian candi. Rupanya memang ada beberapa bagian Candi Siwa yang terlarang untuk dimasuki, bahkan dibuatkan gerbang dan dikunci. [caption id="attachment_280440" align="aligncenter" width="300" caption="no entry"]

1376295707346720151

[/caption] Gara-gara wajib helm, aku jadi ekstra perhatian pada kabel-kabel yang berseliweran di beberapa bagian Candi. Rupanya kabel-kabel itu bagian dari alat pendeteksi keretakan bangunan Candi yang tertempel di dinding. Seingatku, alat semacam ini juga ada di Candi Borobudur. Sebagai Candi dengan kerusakan cukup parah akibat gempa bumi tahun 2006, alat pendeteksi keretakan cukup banyak ditemui di Candi Siwa. [caption id="attachment_280441" align="aligncenter" width="300" caption="alat pemantau retak"]

1376295852478211455

[/caption] Terus terang aku sering tidak terlalu ambil pusing kalau diingatkan bahwa candi-candi itu sudah ratusan tahun usianya. Tapi menyaksikan sendiri upaya-upaya untuk mempertahankan keberadaan mereka, mau tak mau aku jadi terenyuh juga. Oalaaaahhhh... ternyata benar-benar sudah sepuh ya, usia candi-candi kita ini. Aku jadi ingat ketika Mbah masih hidup, dan kami berusaha menjaga kesehatan beliau di usianya yang senja. Mungkin merawat candi juga seperti itu. Yang punya kemampuan dan keahlian, menyumbangkannya untuk menjaga kesehatan Candi. Yang tidak punya kemampuan dan keahlian, minimal tidak mencorat-coret dinding candi, menaati aturan selama berada di lingkungan Candi, dan membuang sampah di tempat yang sudah disediakan. Moga-moga anak cucuku kelak masih bisa menyaksikan kemegahan warisan budaya leluhurnya, sama seperti aku saat ini, dan tidak hanya mengenangnya lewat foto-foto. Tayang selanjutnya: Uklam Jogja #4: Ratu Boko, Keraton Di Atas Bukit

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline